Jumat, 09 Oktober 2015

[ TRANSLATE ] Oregairu Vol 11 Chapter 7 : Meski diterpa masalah, tatapan mata Yukinoshita Yukino terlihat jelas dan terang



x Chapter VII x






  Event memasak coklat Valentine telah berakhir beberapa waktu lalu.

  Belakangan ini, cuaca terlihat sangat cerah. Tapi, hari ini sangat berawan. Tampaknya akan ada fenomena cuaca yang tidak menentu dalam beberapa hari ke depan. Meski suhu udara tidak turun secara drastis ketika malam tiba, tapi sejujurnya, ini bisa dikategorikan error margin. Karena musim dingin di Chiba seharusnya dingin seperti biasanya.

  Matahari mulai terlihat hendak terbenam seusai jam sekolah, aku juga merasakan kalau suhunya mulai turun drastis.

  Aku pergi ke Klub untuk menghindari dinginnya cuaca itu, terutama di lorong Gedung Khusus. Karena adanya pemanas ruangan di Klub, aku bisa membaca buku dengan santai.

  Senja mulai terlihat, dan aktivitas Klub berjalan seperti biasanya.

  Di meja panjang ruangan ini terlihat ada cangkir teh, sebuah mug, dan sebuah gelas teh yang tampak sangat aneh dibandingkan kedua tempat teh yang kusebutkan sebelumnya. Di ujung sana, aku bisa melihat Yukinoshita sedang menuangkan teh ke gelas tersebut. Dia lalu menaruh gelas tersebut di depanku dan Yuigahama.

  Aku menegakkan kepalaku dari membaca buku untuk menerima tehnya, kedua mata Yukinoshita dan diriku bertemu satu sama lain.



  Yukinoshita tiba-tiba menundukkan kepalanya, tapi kemudian dia melihat ke arah atas. Lalu, dia menundukkan kepalanya, sekali lagi. Sikapnya yang tidak seperti biasanya ini jelas-jelas berbeda dari biasanya. Yuigahama tampaknya merasakan hal ini juga.


  "Yukinon?"


  Mendengarkan suaranya, Yukinoshita melihat ke arahnya, lalu kemudian menatap ke arahku lagi. Lalu, dia seperti hendak berbicara, namun tertahan karena sesuatu.

  "Aku minta maaf soal waktu itu...Itu, Ibuku, dia..."

  Dia mengatakan hal tersebut sambil menundukkan kepalanya. Meski dia tidak mengatakan terlalu banyak, menilai kata-kata kunci yang dia ucapkan barusan, aku sudah paham maksud minta maafnya itu. Aku bisa mengingat kejadian di event tersebut tanpa perlu mengingat dengan keras. Aku tidak bisa melupakan itu, adegan di event itu terus berputar-putar di kepalaku. Masalah dirinya dengan Ibunya, kata-kata dari Haruno, juga kata-kata dari Yuigahama sebelum berpisah denganku terus berputar-putar di kepalaku.

  Meski begitu, dia tidak perlu membahas hal itu, juga kejadian itu bukanlah salah siapa-siapa.

  Karena itu, aku menunjukkan ekspresi kalau dia tidak perlu mengkhawatirkan apapun. Juga, Yuigahama yang duduk diagonal dengan arah dudukku, melambai-lambaikan tangannya seperti mengatakan kalau dia juga tidak mempermasalahkan hal itu.

  "Itu bukanlah masalah sama sekali! Aku sering diceramahi juga oleh Ibuku jika pulang telat."

  "Well, kupikir semua Ibu memang seperti itu. Mereka sangat ketat terhadap anak-anaknya. Lebih dari itu, mereka tiba-tiba membersihkan ruanganku dan bertanya seperti bagaimana sekolahmu? Apa sekolahmu menyenangkan? Dan pertanyaan-pertanyaan aneh yang sebenarnya tidak penting untuk kujawab."

  Kenapa semua Ibu di dunia ini sangat tertarik dengan cara hidup putranya? Teman-temannya, bahkan apa yang dibaca?....Mengapa begitu? Apa Ibuku adalah penggemarku? Terima kasih, Bu! Tapi tolong jangan sentuh laci mejaku!
[Note: Laci meja Hachiman adalah tempat dimana dia menyimpan buku pornonya. Vol 5 chapter 6]

  Mendengarkan kata-kata dariku dan Yuigahama, ekspresinya terlihat lebih tenang. Sekilas aku bisa melihat senyumnya lagi dan dia mulai menyisir rambut panjangnya ke bahunya, seperti yang biasa dia lakukan.

  "...Jadi, Ibu dari Hikigaya-kun selama ini pasti punya banyak masalah tentang anaknya."

  "Ibu dari Hikki, memangnya dia seperti apa?"

  "Kalau kau tanya seperti itu...Dia sangat normal. Dia seperti Komachi versi lain. Belakangan ini, karena ujian masuk yang sudah dekat, Komachi dan Ibuku sering terlihat mengobrol bersama."

  Meski keduanya terlihat baik-baik saja, pasti akan ada saatnya keduanya akan berselisih pendapat. Biasanya, alasan yang paling sering adalah tentang sikap Ayah. Ayahku pasti sangat perhatian dengan Komachi dan sangat memanjakannya, membuat Ibuku marah. Lalu, Komachi juga marah, sehingga suasana di rumah seperti sebuah medan perang.

  ...Ah, kupikir masalah dia dan Ibunya tidak bisa kukatakan sebuah konflik. Itu yang kusimpulkan setelah melihatnya sendiri. Bukankah itu sudah semacam hal yang lumrah kalau Ibu berselisih paham dengan putrinya ketika ada ujian atau memilih jurusan kuliah?


  Tampaknya, Yuigahama mungkin memiliki pemikiran yang sama denganku.


  "Ah, aku hampir lupa. Komachi akan menjalani ujian masuknya besok. Sekolah juga akan libur sehari karena digunakan untuk Ujian Masuk."

  "Kupikir kalau untuk Komachi, dia harusnya tidak memiliki masalah berarti."

  "Ah..."

  Aku masih bisa melihat ada sebuah ketidakyakinan dalam kata-katanya tadi. Aku menganggukkan kepalaku kepadanya, dan balasanku tadi juga tampaknya mengandung ketidakyakinan pula.

  Besok adalah waktu dimana dia akan menjalani Ujian Masuk SMA Sobu.

  Sedang besok pula, adalah Hari Valentine. Hal terpenting dari itu adalah aku tidak bisa menerima coklat Valentine dari Komachi. Setidaknya, kekecewaan ini akan terobati tahun depan! Tapi, kalau bicara tentang antisipasi, aku juga sadar kalau bisa jadi tahun depan aku tidak bisa menerima coklat darinya karena dia memberikannya ke pria lain di SMA ini! Memikirkannya terlalu jauh hanya akan membuat pikiranku menjadi lebih suram.

  Yuigahama mungkin melihat ekspresiku itu, lalu tersenyum kecil.

  "Tentunya kamu akan khawatir, kamu kan kakaknya."

  "Tepat sekali..."

  Mendengarkan kata-katanya itu, aku tidak bisa berkomentar lebih jauh kecuali menganggukkan kepalaku.

  Aku menarik napas dengan sangat panjang, lalu mengeluarkannya pelan-pelan. Ini adalah pikiran yang seharusnya tidak kupikirkan tentang rencana masa depanku.

  "Komachi itu gadis yang sangat manis, dia pasti akan menjadi gadis populer. Jika nanti seperti itu, aku sangat khawatir tentang pria-pria yang melihat dirinya, karena sangat penting kalau mereka tidak tahu Komachi punya kakak disini. Lagipula, kalau ketahuan, reputasinya bisa rusak."

  "Jadi itu yang kau khawatirkan? Maksudku, kamu sudah memperkirakan dia akan diterima disini?"

  "Aku tidak tahu apa kau sedang menjadi hal yang positif atau negatif disini."

  Yuigahama tampak terkejut, sedang Yukinoshita hanya berusaha menghela napasnya. Mereka lalu melihat satu sama lain dan tertawa.

  Tampaknya tidak ada klien yang datang hari ini. Ruangan Klub selalu memiliki suasana yang santai seperti biasanya. Sambil menikmati suasana itu, aku mulai melanjutkan kegiatan membacaku. Yuigahama tiduran saja di atas meja, sambil bermain dengan HP-nya, sedang Yukinoshita memegangi poci tehnya dan hendak menuangkan tehnya lagi ke gelas kami.

  Lalu, dia menaruh tasnya di atas meja. Dari situ, dia mengambil sebuah kantong kertas kecil. Membuka kantong tersebut, aku bisa mencium aroma yang lezat. Tampaknya itu sejenis snack yang biasa dimakan ketika minum teh.

  Yukinoshita menyusunnya dengan hati-hati di sebuah piring kayu. Aku mencoba mengamati itu, dan menyadari kalau dia sedang menyusun kue-kue tersebut dengan semacam pola. Ada barisan kue coklat yang diberi selai, atau kue dengan pola-pola warna yang berbeda. Dari jenis kuenya dan kantong pembungkusnya, aku bisa tahu kalau itu adalah kue-kue yang tidak dibeli dari toko.

  "Ah, apa ini semua kamu buat sendiri?"

  Aku melihat mata dari Yuigahama berbinar-binar.

  Skill memasak Yukinoshita tidak perlu diragukan lagi. Terlihat dari event memasak yang lalu, dia telah menunjukkan kepada kita betapa ahlinya dia dalam hal itu.

  Berarti, tidak ada kejutan disini.

  Meski ini sebenarnya bukan masalah besar, tapi mendengar komentar Yuigahama yang seperti itu, dia tampaknya bingung hendak menjawab apa.

  "...Eh, ya. Aku membuatnya tadi malam."

  Lalu, dia merendahkan kepalanya, lalu dia seperti memainkan jemarinya di ujung piring tersebut, lalu bernapas dengan perlahan. Lalu, dia mencoba mencuri-curi pandang ke arahku.

  Dengan pandangannya yang ke bawah, kepala dan lengannya juga terlihat diam. Dari balik poninya, aku tahu kalau dia seperti gugup untuk menatapku secara langsung dan sekarang sudah menulariku dengan perasaan gugup yang sama. Sikapnya yang seperti itu membuat kepalaku dipenuhi pikiran yang bermacam-macam.


  Mulut Yukinoshita seperti hendak terbuka, lalu tiba-tiba dia menutup rapat. Tampaknya dia sedang bimbang apakah akan mengatakannya atau tidak. Aku yang melihat bibirnya sejak tadi, berusaha membaca apa maksudnya, tiba-tiba entah mengapa aku memalingkan pandanganku.



  Lalu, ruangan Klub tiba-tiba mendadak sunyi.


  "Begitu ya...Aku memang sudah berusaha beberapa kali sejak event itu, tapi ternyata hasilnya sama saja."

  Yuigahama tampaknya tidak nyaman dengan kesunyian ini, dia lalu mencoba mencairkan suasananya dengan tertawa.

  Dia lalu menggunakan jemarinya untuk memutar-mutar sanggul rambutnya.

  "Oven di rumahku tampaknya sedikit rusak setelah itu. Ovennya terus mengeluarkan suara yang aneh dan tidak mau memanggang lagi."

  "Itu karena kau mengira microwave di dapurmu bisa dipakai untuk memanggang kue."

  Aku mengatakannya begitu saja. Aku mungkin lega karena dia bersikap seperti biasanya yang menampilkan kebodohannya. Yukinoshita juga, mencoba menutup mulutnya seperti menyembunyikan diri kalau dia hendak tertawa. Lalu, dia menaruh tasnya di pangkuannya dan mengambil kantong kertas yang cukup kecil.

  Dia mungkin memutuskan untuk memberikan tas itu ke Yuigahama. Tas itu dihiasi semacam pita pink yang manis dan ada gambar cakar kucing di kantongnya.

  "Kalau kamu tidak keberatan untuk menerima ini."

  "Eh, benar tidak apa-apa!? Oh, oh! Terima kasih!"

  "Isinya sama persis dengan kue yang di meja ini."

  Yuigahama menerima pemberiannya dengan senang.

  "Umm, aku sangat senang! Snack buatan Yukinon sangat enak!"

  Yuigahama lalu memeluk kantong kue tersebut di dadanya. Lalu dia mengedipkan matanya berkali-kali ke Yukinoshita.

  "Eh...kok cuma aku yang diberi?"

  Aku paham betul maksud dibalik pertanyaannya itu. Aku mencoba melanjutkan aktivitas membacaku tanpa menolehkan wajahku, tapi ini sangat mustahil!



  Mengapa aku tiba-tiba secara spontan menoleh kepadanya?



  Tiba-tiba ada suara 'ding' yang dibuat oleh mangkuk, terus menggema di telingaku. Bahkan jika aku tidak melihat ke arahnya, aku tidak bisa mencegah suara itu muncul di pikiranku. Yang bisa kulakukan sekarang adalah mencoba mengubur suara itu dengan pikiran-pikiranku.

  Mencoba memahami, menyadarinya, dan akhirnya aku berharap. Apakah dia menyiapkan atau tidak sesuatu untukku di hari ini, entah mengapa pikiranku sejak tadi mencoba memikirkan itu. Klub ini hanya punya 3 orang member. Kalau aku diberi sesuatu, itu pasti hanya karena dia merasa tidak enak melihatku tidak diberi. Ketika aku mencoba berpikir seperti itu, entah mengapa aku terus mencari makna lain yang tersembunyi, dan itu terjadi tanpa aku bisa sadari. Mencoba memikirkan kemungkinan itu, kurasa itu cukup menjijikkan. Tapi ketika mencoba pura-pura tidak memikirkan kemungkinan itu, tiba-tiba pikiranku secara otomatis menolaknya. Semua penolakan dan anggapan bahwa itu hal yang menjijikkan pasti hal yang salah.

  Meskipun aku sudah memutuskan sejak dulu untuk mengubur pemikiran tentang kemungkinan itu dalam-dalam, tapi perasaanku entah mengapa tidak henti-hentinya memikirkan itu dan membuatku tidak tenang. Aku mencoba pura-pura merapikan rambutku dan mataku yang lelah ini dengan melihat ke sekelilingku.

  Di sudut mataku, aku melihat mulut Yuigahama seperti membeku.



  "Bagaimana dengan Hikki?"



  Kau jangan tanya itu! Bu-bukannya aku yang mau, sih...Serius ini!
[Note: Cieee... goreng terus!]


  Meski begitu, aku tidak bisa mengatakan itu.


  Suara dan pandangan dari Yuigahama, mempedulikan orang lain seperti biasanya. Dia menanyakan pertanyaan itu dengan mudahnya, tapi meski begitu, tapi aku bisa melihat tangan kirinya yang berada di lututnya, meremas erat roknya. Melihat dirinya yang seperti itu, aku tidak mampu mengatakan apapun.

  "Ah, tidak, aku tidak begitu..."

  Aku tiba-tiba mengatakan itu dengan gagap. Suasana di ruangan ini tiba-tiba terasa sesak, lalu tiba-tiba Yukinoshita mengembuskan napasnya.

  Yukinoshita lalu memegang erat tas yang ada di pangkuannya, lalu dia menaruhnya di lengannya sebelum dia mendorong kursinya ke belakang dan berdiri.

  Sambil berjalan di samping meja, dia memegang piring kue tersebut dan menyodorkannya kepadaku.

  "Kalau kamu mau..."

  "Oh, oh..."

  Aku mencoba membalasnya, tetapi kedua mata kami tidak bertemu, dan dia sedang memalingkan wajahnya ke samping. Sisi wajahnya itu seperti disinari matahari senja. Mungkin karena cuacanya yang berawan, wajahnya tampak memerah lebih dari biasanya, dan seluruh klub juga seperti diwarnai dengan warna merah.

  Kedua mata dan lehernya berwarna kemerahan, bibirnya bergetar seperti malu-malu, dan bulu matanya yang panjang itu terus bergerak ketika dia berkedip. Aku cukup ragu untuk memberanikan diriku melihat wajahnya secara langsung dan kemudian, aku tutup buku bacaanku dengan terburu-buru, lalu mengambil kue-kuenya.

  "...Ini sangat enak."

  "Benar khan!"

  Yuigahama mencondongkan posisi tubuhnya untuk membalasku setelah dia mendengarku menggumamkan rasanya. Lalu, dia mengambil juga kuenya, memotongnya menjadi dua dengan tangannya, lalu memegangi pipinya karena senang.

  "...Be...begitu ya. Aku membuatnya seperti biasa."

  Melihat respon kami, dia tampaknya sedikit tenang, lalu kembali duduk ke kursinya.

  Kue-kue tersebut ditaruh di tengah meja, tempat dimana itu seharusnya berada. Tidak lupa, ditemani oleh uap wangi dari poci teh dan gelas teh kami.

  Kami kemudian membicarakan tentang kue dan teh hari ini, kadang diselingi dengan sedikit kesunyian, dimana kami kadang bermain dengan HP atau membaca buku. Lalu, kami kemudian terlibat obrolan dan terdengar suara-suara tawa mengisi ruangan ini.

  Tanpa adanya klien yang datang kesini, ruangan Klub terasa memiliki suasana yang santai.

  Waktu berjalan dengan lambat, dan matahari mulai menyentuh cakrawala di ujung lautan.

  Di musim dingin, cahaya matahari senja tidaklah panas. Memang memancarkan sinarnya, tetapi tidak terasa hangat.

  Jika kita tidak memahami hal itu, maka tempat ini akan menjadi dingin dengan segera.

  Oleh karena itu, kami kadang bergerak sesekali, hanya untuk menghangatkan diri kami.

  Meskipun kami sendiri merasa tidak nyaman ketika melakukannya.







*   *   *






  Pada akhirnya, tidak ada seorang klien-pun yang datang ke Klub, dan aktivitas Klub harus berakhir karena sudah tiba saatnya bagi kami untuk pulang ke rumah.

  Aku menutup pintunya, dan menunggu Yukinoshita yang sedang mengembalikan kuncinya ke kantor. Setelah itu, kami meninggalkan Gedung Khusus. Dengan alasan tertentu, kami masih melanjutkan pembicaraan kami di ruangan Klub tadi, dan akhirnya tiba di tempat parkir sepeda.

  Aku bukannya ingin berterima kasih karena sudah menemaniku ke parkiran ini, tapi aku memang sengaja menuntun sepedaku dan menemani keduanya hingga gerbang sekolah.

  Aku tidak menuju gerbang samping dimana aku biasanya pergi setelah dari parkiran sepeda, tapi, kami menuju ke gerbang utama yang berhadapan langsung dengan jalan utama yang menuju Stasiun. Melihat ke atas, langit ternyata sudah menjadi gelap.

  Langit terlihat berawan dan gelap, tampaknya akan terjadi hujan dalam waktu dekat.

  "Uu.....dinginnya!"

  "Kamu sebaiknya membungkus lehermu dengan syal."

  Setelah dia berdiri di depan gerbang, Yuigahama mengeluh kedinginan. Yukinoshita yang berada di sampingnya, membantunya untuk melilitkan syalnya.

  Meskipun adegan tadi terasa hangat dilihat olehku, tapi tubuhku tidak.

  Setelah matahari tenggelam, suhu akan turun secara drastis. Jika kita berhenti bergerak, dingin akan langsung menjalar ke sekujur tubuh, kaki, dan pikiranmu.

  "Serius ini, benar-benar dingin disini..."

  Ketika aku memikirkan diriku yang akan mengayuh sepeda dalam cuaca seperti ini, pikiranku mulai suram. Mengayuh sepeda dan melawan angin dingin ini, belum mengayuh sepeda-pun aku sudah yakin kalau aku tidak akan kuat melakukannya...Begitu pula dengan diriku, aku membetulkan posisi syal, sarung tanganku, dan menggerak-gerakkan tanganku secara perlahan.

  "Sampai jumpa."

  "Sampai jumpa lagi."

  Yuigahama melambaikan tangannya di depan dadanya. Aku membalasnya dengan mengangguk dan bersiap mengayuh sepedaku.

  Pada saat itu, meski terdengar samar-samar, aku mendengar suara yang sangat pelan.

  "...A-ah..."

  Aku memalingkan kepalaku ke arah suara itu, kupikir Yukinoshita hendak memanggilku tetapi dia berhenti ketika baru mengucapkannya. Dia lalu mengambil setengah langkah ke depan menuju arahku.

  Aku mencoba bertanya ada apa dengan gerakan mataku, tapi sikapnya tidak berubah. Dia tampaknya ingin memberitahukan sesuatu tetapi bibirnya tidak mau bergerak. Dia berdiri di sana, terdiam, kedua tangannya membuka tasnya seperti hendak mengambil sesuatu, tas yang sedari tadi dia taruh di pangkuannya ketika di Klub.

  Melihatnya sedikit bergetar, tatapannya yang tidak seperti biasanya, aku tidak bertanya kepadanya tentang apa yang hendak dia sampaikan, aku hanya diam menunggunya.

  Perang sunyi itu terus berlanjut, dan suara yang bisa kami dengar hanyalah suara embusan angin ini.

  "Ah, eh, kupikir aku akan pulang duluan?"

  Meskipun Yuigahama mengatakannya dengan senyum yang dipaksakan, dia hanya mengambil satu langkah mundur. Dia bermain-main dengan sanggul rambutnya dan melihat ke arah Yukinoshita, melihat reaksinya.

  Yukinoshita tampaknya tidak menginginkan Yui terlihat dengan ekspresi yang seperti itu dan dia mencondongkan wajahnya secara perlahan, lalu dia menatap Yuigahama dengan ekspresi memohon. Melihat hal itu, Yuigahama menundukkan kepalanya, tetapi tidak lama kemudian, dia menegakkan posisinya dan bertanya.

  "Eh...Kita mau melakukan apa?"

  Suara Yuigahama terlihat tidak sedang keheranan, lebih tepatnya mencari konfirmasi.

  "...Itu."

  Kata-kata yang hendak dia katakan langsung menguap begitu saja, seperti tertiup angin. Tampak tidak menemukan kata-kata yang tepat, wajahnya memerah dan dia mulai menundukkan wajahnya. Mungkin dia terlalu menggunakan banyak energinya, bahunya bergetar, dan dia memeluk tasnya dengan lebih erat daripada sebelumnya.

  Kami semua menunggunya untuk melanjutkan kata-katanya, tidak bergerak. Tidak ada seorangpun yang membuat suara, tapi, tidak lama kemudian terdengar suara.

  Ka-to.

  Aku menduga kalau ini adalah suara dari hak sepatu yang menyentuh aspal.

  Suaranya mulai terdengar lebih keras di tiap langkahnya, membuat jantungku berdetak kencang. Mungkin ini hanya suara yang ada di khayalanku. Aku bahkan berpikir kalau ini adalah semacam bentuk lain dari rasa gelisah yang ada dalam diriku.

  Tapi tampaknya itu bukanlah suara yang hanya bisa didengar olehku. Yuigahama melihat ke arah langkah kaki yang mulai mendekati kami tersebut. Lalu dia terkejut.

  "Ah..."

  Tidak lama kemudian, langkah kaki itu terhenti. Kami mengikuti arah tatapan Yuigahama dan membuka mata kami lebar-lebar.

  "Yukino-chan, aku kesini untuk menjemputmu."

  "Nee-san..."

  Melihatnya, Yukinoshita tiba-tiba mengatakan kata-kata tersebut.

  Suara hak sepatu boots Yukinoshita Haruno mulai terdengar lagi dan dia berjalan hingga berada tepat di depan kami. Dia menaruh tangannya ke kantong mantelnya, dan tersenyum kecil. Dia melihat ke arah pinggir, ke arah Yukinoshita.

  "Aku tidak mendengar satupun kabar kalau kau akan datang kesini dan menjemputku."

  "Aku disuruh Ibu, kalau aku dan kamu akan tinggal bersama untuk sementara. Ah, bukankah ada kamar kosong di apartemenmu, benar? Berarti tidak masalah jika aku menyuruh kurir untuk mengirimkan koper-koperku besok, benar? Kalau pagi, aku masih bisa menemui kurir itu. Tapi, aku ada acara besok malam, jadi besok malam kamu bisa bantu aku untuk menerima kiriman koperku?"

  Haruno-san terus mengirimkan pertanyaan-pertanyaan seperti mencegah diriku dan Yuigahama untuk memotongnya.

  Jika dia mengatakannya seperti itu, maka mustahil bagi orang luar seperti kami, untuk mengatakan apapun.


  Lebih dari itu, meskipun nada suara dari Haruno-san seperti dia sendiri sadar kalau itu akan mengganggu Yukinoshita, dia tetap mengatakannya secara natural. Meskipun ini adalah sebuah keputusan yang sudah ditentukan sejak lama. Sikapnya itu menunjukkan kalau dia tidak mau ada seorangpun menolak kata-katanya.

  "Tu-tunggu dulu. Kenapa ini tiba-tiba sekali...?"

  Yukinoshita mengatakannya dengan nada yang tidak setuju. Mendengarnya, Haruno-san mengangkat bahunya sambil tertawa dengan keras.

  Lalu, dia mendekatinya secara perlahan, dan melihat ke arah Yukinoshita.

  "Kamu harusnya tahu itu. Atau setidaknya, punya dugaan apa itu."

  Mendengar pertanyaannya, bahu Yukinoshita seperti sedang dikejutkan sesuatu.

  "...Itu, itu adalah masalahku. Itu tidak ada hubungannya denganmu, Nee-san."

  Yukinoshita sekarang menatap tajam ke arah Haruno-san, dia menjawabnya dengan tegas seperti menolaknya.

  Dia mengatakan kalau itu masalah pribadi Yukinoshita. Aku takut kalau itu mengenai masalah ketika Ibunya dan dirinya sedang membicarakan sesuatu beberapa hari lalu.

  Waktu itu, mungkin Ibunya dan dirinya membuat semacam perjanjian, kalau Yukinoshita akan memberikan jawabannya sendiri.

  Tapi, entah mengapa, Yukinoshita Haruno ada di depan kami saat ini.

  Apakah itu karena Ibunya tidak ingin menunggu jawaban putrinya, atau hanya sekedar khawatir karena pulang larut malam? Aku tidak yakin akan hal itu. Bisa jadi Haruno-san hanya berusaha memahami maksud Ibunya.

  Haruno-san mendengarkan kata-kata Yukinoshita dengan diam.

  Senyum yang dia tunjukkan kepada kami sebelumnya mendadak hilang. Dia menajamkan pandangannya kepada Yukinoshita, tatapannya itu seakan-akan menembus tubuhnya, seperti hendak memeganginya, tidak membiarkannya kabur. Dia terus melihat ke arah Yukinoshita dengan tatapan dinginnya; Yukinoshita bersaudara mudah sekali dibaca tindakan dan ekspresinya melalui matanya. Tampaknya, tatapannya tadi seperti sudah melihat semua isi pikiran Yukinoshita.

  Tidak lama kemudian, dia berkata.

  "Apa Yukino-chan pernah punya 'dirinya sendiri'?"

  "Apa..."

  Kata-kata yang Haruno-san ucapkan membuat Yukinoshita gugup. Ketika dia hendak bertanya maksudnya lebih jauh, Haruno-san memotongnya.

  "Kamu selalu mengikuti kemanapun langkahku berada, lalu apakah benar jawabanmu tadi itu merupakan hasil pemikiranmu sendiri?"

  Meskipun wajahnya hanya memperlihatkan senyum yang kecil, suara Haruno-san tampak lebih dingin dari biasanya, dan tatapannya yang dingin menembus Yukinoshita.

  Yukinoshita tidak sekalipun menolak itu ataupun mengatakan sesuatu untuk menyangkalnya. Dia hanya melihat ke arah Haruno-san, seperti orang bodoh. Melihat dirinya yang seperti itu, Haruno-san melanjutkan kata-katanya.

  "Yukino-chan selalu diberi ijin untuk melakukan apapun yang dia suka, tapi dia sendiri tidak pernah memutuskan apapun sendiri."

  Suaranya terdengar lembut, tetapi terselip banyak sekali nada-nada mengasihani kondisinya.

  Lalu, dia menatap ke arah Yuigahama, yang berada di samping Yukinoshita, lalu ke arahku, yang berada di seberangnya.

  Ketika kedua mata kami bertemu, dia tertawa dengan sinis.

 "...Kamu sudah kehabisan ide harus bertindak apalagi ketika sudah sampai di persimpangan jalan seperti ini, bukan?"

  Pertanyaan itu, aku tidak tahu ditujukan ke siapa.

  Tidak hanya Yukinoshita, bahkan aku sendiri seperti terpaku di posisi ini. Aku sangat ingin menghentikan serangan verbal Haruno-san, tapi suaraku seperti tersangkut di tenggorokanku, tidak bisa keluar. Apa yang bisa kulakukan untuk saat ini? Aku...tidak punya ide sama sekali.


  "Jadi, apa yang sekarang Yukino-chan ingin lakukan?"

  "Kalau kalian berdua ingin mendebatkan sesuatu, bisakah lakukan di tempat lain?"

  Akhirnya aku mengatakannya, untuk menghindari Haruno-san bertanya lebih jauh.

  Jika aku tidak melakukannya, dia pasti akan mengatakan kalimat itu. Kalimat yang menusuk kepada kebenaran di wajah kami. Jadi, aku tidak bisa membiarkannya untuk melanjutkan itu. Bukan demi Yukinoshita, tetapi demi diriku.

  Haruno-san merasa kalau kesenangannya sudah diambil darinya dan melihatku dengan ekspresi yang membosankan. Kedua matanya seperti hendak menantangku, seperti bertanya apakah aku masih punya kata-kata lagi yang bisa kukatakan kepadanya.

  "Perdebatan? Aku tidak berpikir kalau adegan tadi bisa kita kategorikan dalam sebuah kata 'perdebatan'. Kita sendiri belum pernah berdebat sebelumnya."

  "Meski kalau kata-katamu tadi benar, ini bukanlah tempat yang tepat untuk mengatakan hal-hal seperti itu."

  Dengan begitu, kita saling menatap dengan tatapan yang dingin. Aku menggunakan seluruh kekuatanku untuk menatap matanya, menggunakan semua yang kupunya untuk tidak memalingkan pandanganku darinya.

  "I-itu...Kami ingin membicarakan sesuatu dulu. Yukinoshita juga, dan diriku juga."

  Yuigahama memotong, mencoba untuk membelikan kami waktu. Dia berdiri tepat di samping Yukinoshita dan mengatakan kata-kata itu dengan tegas. Meski begitu, dengan tatapan Haruno, suaranya terdengar melemah. Pada akhirnya, seluruh kepalanya menghadap ke tanah. Haruno-san melihatnya dengan tatapan kasihan dan memberitahunya.

  "...Oh begitu ya. Kalau begitu, aku akan mendengar jawabanmu nanti setelah kembali. Lagipula, kamu cuma punya satu tempat dimana kamu bisa pulang."

  Dengan kalimat penutup itu, dia berputar balik dan pergi meninggalkan tempat ini. Suara hak sepatunya terdengar semakin menjauh, dan aku bisa merasakan detak jantungku yang sempat meningkat tadi mulai menurun.

  Dari celah awan-awan yang terlihat padat di langit, cahaya senja mulai menyinari sosok Haruno-san yang terlihat berjalan menjauh. Setelah melihatnya pergi, akhirnya aku merasakan lega yang luar biasa. Seperti sehabis menahan napas untuk waktu yang cukup lama.

  Kami tidak mampu melihat wajah kami satu sama lain. Yukinoshita menundukkan kepalanya sambil menggigit bibirnya, berdiri begitu saja tanpa bergerak. Yuigahama melihatnya dengan ekspresi yang terluka. Lalu, aku sendiri, yang sedari tadi hanya melihat ke arah langit, sedang memikirkan kata-kata yang tepat untuk mengucapkan selamat tinggal kepada mereka.

  "Eh, eh...Aku tahu. Mampir ke rumahku yuk?"

  Dan begitulah, dia mengajak kami dengan senyumnya untuk membuat suasananya menjadi cair, aku sendiri tidak menemukan kata-kata yang tepat untuk menolak itu.






*   *   *





  Berjalan menyusuri jalan besar yang berada diantara Sekolah dan Stasiun, kami akhirnya tiba di sebuah kompleks yang terdiri dari kondominium besar.

  Yuigahama tinggal di salah satu kondominium ini.

  Di sepanjang perjalanan, kami melihat banyak sekali orang yang pulang dari sekolah ataupun kerja. Kami seperti ditemani kerumunan orang yang sedang berlalu-lalang ini.

  Satu-satunya momen dimana diriku dan Yukinoshita berbicara adalah ketika mengatakan "Maaf mengganggu." ketika memasuki rumah Yuigahama. Meski begitu, setelah berada di ruangannya, kami akhirnya bisa berbicara.

  "Maaf, ruanganku tidak begitu luas."

  Yuigahama mengatakannya sambil duduk di dekat meja, lalu memberikan kami masing-masing sebuah bantal duduk.

  "...Terima kasih."

  Yukinoshita mengatakan kalimat sederhana tersebut dan duduk di samping Yuigahama, memeluk bantal tersebut. Aku mengikuti mereka, duduk dengan kaki bersila di lantai, dengan posisi berseberangan.

  Untungnya, posisi kami berada di atas karpet yang berbulu, membuat kakiku terasa hangat.

  Aku serasa ingin menggelinding saja di karpet ini sambil memeluk bantal.

  Rak di sebelahku diisi banyak sekali merchandise yang terlihat imut, ada beberapa hiasan yang bermotifkan suatu daerah di Asia, juga ada tumpukan majalah terlihat di rak tersebut. Ada sebuah meja belajar yang tampaknya tidak pernah digunakan, dan sekarang dipakai untuk menaruh barang-barang.

  Meski dia katakan ruangannya tidaklah luas, tapi kupikir ini cukup luas. Setidaknya, lebih luas dari kamarku.

  Tapi aku merasakan kurang nyaman. Ada semacam aroma di ruangan ini. Itu saja cukup membuatku kurang nyaman. Aroma ini tampaknya berasal dari tempat tidur, sehingga mataku secara tidak sadar menatap ke arah itu. Sepertinya, aroma itu berasal dari beberapa batang benda yang berada di botol dekat tempat tidur.

  Apa itu....? Sepertinya ada orang yang menyadari tindakanku itu dan membersihkan tenggorokannya. Ketika aku melihat asal suaranya, aku melihat Yuigahama seperti tersipu malu.

  "Bi-bisakah kau tidak menatap itu terus-terusan?"

  "Eh, ah, bukan, apa? Aku mencium ada bau seperti pasta tergoreng di arah sana."

  Aku meresponnya dengan nada yang cukup jelas. Yuigahama lalu tertawa mendengarnya.

  "Itu adalah pewangi ruangan..."

  Oh, jadi itu adalah parfum untuk ruangan...Well, terserahlah, lagipula darimana aku tahu kalau tidak diberitahu? Jadi, seperti inikah ruangannya gadis? Ketika aku terpana, aku melihat di salah satu sudut mataku kalau ada seseorang sedang berusaha menyembunyikan tawanya.

  "Pasta goreng..."

  Melihat asal suaranya, aku melihat Yukinoshita tertawa sambil menyembunyikan wajahnya dengan bantal. Tidak, itu tidak lucu....Gadis ini punya rasa humor yang cukup aneh, seperti biasanya...

  Ketika dia merasa kita sudah sedikit santai dan sudah bisa becanda, Yukinoshita lalu menegakkan posisi duduknya dan membetulkan posisinya.

  Lalu, dia merendahkan kepalanya.

  "Maaf...Untuk masalah yang tadi..."

  "Itu tidak apa-apa! Jangan khawatir soal itu."

  Yuigahama melambaikan tangannya di depan dadanya, dan mengatakannya dengan nada ceria. Di saat yang sama, sebuah suara yang lebih ceria muncul di tempat yang berbeda.

  "Benar sekali~ Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

  Seorang wanita muncul, yang tidak mengetuk pintunya terlebih dahulu, malahan langsung membukanya begitu saja. Dia membawa nampan berisi teh dan peralatannya. Dia memakai kemeja yang tebal dengan rok panjang, memberikan kesan tenang. Dia memiliki wajah yang kekanak-kanakan, memberikan sebuah kesan muda. Setiap dia tersenyum, sanggul rambut yang berada di belakang kepalanya seperti bergoyang-goyang.

  "Mama! Jangan masuk begitu saja tanpa memberitahuku!"

  Meski Yuigahama terlihat marah ketika mengatakannya, tapi orang yang disebut Mama ini tidak mempedulikannya dan menjawab "eh?" dengan senyum. Tidak perlu menjadi seorang jenius untuk mengenalinya sebagai Ibu dari Yuigahama. Senyum yang terlihat familiar. Putrinya, seperti Ibunya.

  Ibunya berlutut di depan meja dan mulai menuangkan tehnya. Lalu, dia memberikan cangkir tehnya kepadaku sambil berkata "Ini~"

  "Ah, terima kasih. Maaf sudah merepotkan anda...."

  Di saat seperti ini, apakah lebih baik jika mengatakan "Tolong jangan ganggu saya" atau "Jangan khawatirkan saya" atau "Jangan terganggu dengan keberadaan saya" untuk kegiatan minum teh ini? Aku tidak punya pengalaman menjadi tamu di rumah orang, jadi aku menjadi tidak berdaya saat ini. Lebih jauh dari itu, orang di depanku adalah tuan rumah, yang membuatku tambah gugup, dan akhirnya keluarlah responku yang tadi.

  Juga, aku agak malu-malu melihatnya, meski aku agak menatap ke bawah, aku mendengarnya berkata "Wa" dengan ceria.

  Aku melihat asal suaranya, dan melihat Ibu Yuigahama sedang menatapku.

  Dia menatapku untuk sejenak, lalu dia mengatakan "Heh" dan "Hooo..".
[Note: Hal serupa juga dilakukan Ibu Yukino ke Hachiman di vol 11 chapter 6. Bedanya, Ibu Yukino mengamati Hachiman diam-diam dari balik kaca mobilnya.]

  Melihat kondisi seperti itu, aku seperti agak kesulitan untuk menyapanya, lalu Yuigahama tertawa.

  "Kamu pasti Hikki-kun...benar? Ibu selalu mendengar Yui membicarakan tentang dirimu."

  "Oh, oh..."

  Aku ingin mati saja. Saya sangat malu sehingga saya ingin mati saja.

  "Mama, jangan katakan hal-hal yang tidak perlu!"

  Yuigahama dengan malu-malu menghampiri Ibunya. Lalu dia berdiri dan mengambil piring snack dari Ibunya sambil pura-pura mengusir Ibunya dari ruangannya.

  "Eh...Mama ingin mengobrol dengan Hikki juga."

  "Biarkan dia istirahat."

  Yuigahama mendorong punggung Ibunya, seperti memintanya pergi dari ruangan ini.

  Yukinoshita tersenyum melihat keduanya, lalu tatapan matanya bertemu dengan Ibu Yuigahama yang hendak keluar ruangan.

  "Ah, benar, Yukino-chan."

  "...Y-Ya..."

  Ibu Yuigahama tersenyum lebar melihat respon Yukinoshita.

  "Kamu akan menginap disini, benar? Ibu akan mengambil tempat tid...."

  "Aku bisa melakukannya!"

  Yuigahama menggunakan seluruh tenaganya untuk mendorong Ibunya keluar ruangan dan mengunci pintunya. Beberapa suara masih terdengar dari luar tetapi Yuigahama tidak mempedulikannya dan mengembuskan napas panjangnya.

  "Ahaha...Benar-benar maaf soal itu. Ketika Mama tahu Yukinon akan datang, dia sangat senang. Dia biasanya tidak sesenang itu. Ini cukup memalukan..."

  Melihat Yuigahama yang seperti itu, Yukinoshita mengatakan kepadanya kalau dia tidak perlu khawatir. Lalu, dia tersenyum kepadanya.

  "Hubunganmu dengan Ibumu tampaknya sangat baik...aku sedikit cemburu melihatnya."

  Ada sebuah kesedihan dari sebuah penyesalan dan kesendirian dari ekspresinya. Dengan hubungan Ibu dan putrinya yang seperti itu, akan sangat sulit bagi semua orang, tidak hanya Yukinoshita, untuk memiliki hubungan yang baik. Yuigahama dan diriku sepertinya memikirkan hal yang sama.

  Melihat kesunyian ini, Yukinoshita buru-buru menambahkan kalimat lain.

  "Maaf, aku pasti mengatakan sesuatu yang cukup aneh...Aku seharusnya pulang sekarang."

  Yukinoshita lalu berdiri, tetapi Yuigahama memaksanya untuk duduk kembali.

  "Kenapa kamu tidak tidur disini malam ini? Aku kan sering menginap di apartemenmu....Juga di apartemenmu sekarang sudah terasa kurang nyaman, benar?"

  "Eh, tapi..."

  Yukinoshita tampak kebingungan, dia sedikit ragu untuk sesaat. Pada akhirnya, dia lalu menatapku. Jangan, jangan lihat ke diriku, bukannya aku bisa membantumu atau yang lain...
[Note: Ini kesekian kalinya sejak vol 10 Yukino selalu 'meminta ijin' dari Hachiman untuk memutuskan sesuatu atau melakukan kegiatan.]

  Tapi, melihat situasinya dengan Haruno-san barusan, jika Yukinoshita pulang ke apartemennya, maka hasilnya akan sama saja dengan yang tadi.

  Aku merasa kalau Yuigahama memikirkan hal yang sama denganku. Aku melihat ke arah Yuigahama, dan dia menganggukkan kepalanya untuk meresponku.

  Well, jika sedang kesulitan untuk bertemu dengan seseorang, maka jangan temui. Mundur adalah cara yang efektif untuk mencairkan suasana. Tapi jika tidak ada sebuah deadline baginya untuk mengatakan jawabannya, maka dia bisa lari terlebih dahulu dari masalah itu. Tapi, aku tidak bisa mengatakan kalau ini adalah ide yang buruk kalau kita berusaha membeli waktu.

  "...Aku merasa kalian berdua harus menenangkan diri dahulu. Kenapa tidak memanfaatkan menginap disini untuk memikirkannya dengan baik? Tapi, kamu setidaknya harus menelpon mereka dahulu."

  "Uh, tampaknya ide yang bagus."

  Yuigahama tampak menyetujuinya, setelah Yukinoshita berpikir sejenak, dia akhirnya menganggukkan kepalanya dan setuju.

  "...Yang kau katakan tadi cukup masuk akal."

  Dia lalu mengambil HP dari tasnya dan membuat panggilan. Dia mungkin menelpon Haruno-san. Setelah menunggu nada panggil, telponnya diangkat.

  "...Halo. Kupikir kita berdua harus menenangkan diri terlebih dahulu, jadi aku menginap di rumah teman untuk memikirkannya lebih jauh. Aku hanya ingin memberitahumu saja."

  Yukinoshita menyelesaikan kalimatnya dan ruangan ini terasa sunyi sekali. Aku hanya bisa mendengar suara napas dari Yukinoshita, dan suara kecil yang mengatakan "apa dia baru saja..."

  Aku melihat ke asal suara itu, dan melihat Yuigahama melihat ke arahku dan Yukinoshita dengan terkejut. Tepat ketika aku bertanya ada masalah apa, aku mendengar suara tertawa yang kering di ujung telponnya.

  "Oh, aku paham. Hikigaya-kun pasti sedang ada disana, bukan? Berikan HP ini kepadanya."

  Di ruangan yang sunyi ini, suara provokatifnya terdengar di telingaku, padahal itu dari ujung telpon. Mendengar permintaan Haruno-san, Yukinoshita tampaknya ragu-ragu. Tetapi tidak lama kemudian di ujung telpon terdengar kata "cepat!", dia akhirnya memberikan HP-nya kepadaku.

  "...Kakakku ingin berbicara denganmu."

  Aku mengambil HP-nya dan berbicara.

  "...Ada apa?"

  "...Hikigaya-kun, kamu ternyata orang yang sangat baik."

  Tawa dan suaranya yang suka menjahili orang itu terdengar manis dan mempesona. Tapi aku sendiri merasa sudah dirasuki semacam goblin.
[Note: Goblin adalah semacam makhluk jahat di beberapa mitologi yang beredar di eropa dan amerika.]

  Aku sangat yakin kalau senyum yang ada di ujung telpon tadi, memiliki semacam kepribadian ganda. Aku bahkan bisa menggambarkannya secara jelas di pikiranku. Ekspresinya mungkin mirip dengannya, dan meski begitu, berubah seketika di saat yang bersamaan.

  Aku berusaha membersihkan tenggorokanku dan melihat ke arah Yukinoshita, yang tampaknya tidak mendengarnya.

  Yukinoshita sedang memeluk dadanya dan berdiri di dekat jendela. Wajahnya seperti menatap ke arah luar jendela untuk menghindari tatapanku.

  Cahaya dari lampu-lampu penerangan jalan di sekitar gedung-gedung pencakar langit ini, tampaknya masih belum cukup kuat untuk mengusir kegelapan ini. Dari kaca jendela itu, dia hanya bisa melihat sebuah cermin yang hitam.


  Kedua matanya yang terlihat dari pantulan kaca tersebut, sangat terang dan jelas, tetapi terlihat kosong.






*   *   *





  Haruno-san hanya mengatakan itu saja lalu menutup telponnya. Pembicaraan langsung berakhir seketika.

  Aku mengambil saputanganku dan membersihkan layar HP Yukinoshita sebelum mengembalikannya. Sebuah rasa lelah yang luar biasa seperti disiram langsung ke wajahku. Ketika energiku mulai kembali, aku merasa bahwa ini sudah cukup larut malam.

  "Kalau begitu, aku akan kembali dulu."

  "Umm..."

  Aku mengambil tas sekolahku dan berdiri bersamaan dengan Yuigahama. Tidak lama kemudian, Yukinoshita juga berdiri. Tampaknya mereka hendak mengantarku keluar.

  "Tidak, tidak perlu."

  "Aku merasa agak aneh untuk berpisah disini."

  Sambil mengatakan itu, Yuigahama mengantarku keluar. Ketika itu, ada sebuah hewan berbulu sedang berlari kencang di salah satu koridor ruangan.

  Itu adalah anjing dari Yuigahama, Sable. Lalu, Sable menabrakku.

  "Oh..."

  "Hei! Sable."

  Yuigahama mengangkatnya dari dekat kakiku, dimana posisi perutnya menghadap ke diriku. Yukinoshita melihat Sable dan berhenti berjalan. Oops, aku lupa kalau gadis ini tidak bisa menghadapi anjing.

  Dalam perjalanan menuju pintu keluar, Yukinoshita mengikuti dari belakang Yuigahama, menjaga jarak seperti 3 langkah dari Sable. Dia tampaknya berusaha yang terbaik agar tidak berinteraksi dengan Sable.

  Di lain pihak, Sable terlihat bersemangat, dan terus menggonggong dari arah lengan Yuigahama...Uh...apakah ini baik-baik saja? Kupikir aku harus memberikan sedikit saran untuk Yuigahama.

  Setelah memakai sepatuku kembali dan bersiap untuk pergi, aku berkata ke Yuigahama.

  "Hei, Yuigahama. Jika Yukinoshita hendak menginap, maka Sable harusnya    "

  "Hikigaya-kun."

  Yukinoshita mengatakannya seperti berbisik untuk memotong kata-kataku. Bibirnya tampak memberikan semacam kode, dan kedua tangannya membentuk kode menyilang di depan dadanya sambil menatap ke arahku. Begitu ya, jadi kamu tidak ingin aku mengatakan kepadanya kalau kau takut anjing. Mungkin dia mempertimbangkan kalau dia tidak ingin temannya tahu kalau dia takut sesuatu dimana temannya sangat mencintainya.

  Dia mungkin merasa tidak enak jika Yuigahama mengkhawatirkan dirinya tentang Sable dimana dia sendiri sudah cukup merepotkannya dengan menginap disini.

  Kalau itu yang dia inginkan, maka aku akan menghormati keinginannya.

  Tapi, ini terlalu aneh jika aku tidak menyelesaikan kalimatku tadi.

  Yuigahama menatapku dengan tatapan penuh tanda tanya.

  "Sable? Kenapa dengan dia?"

  Ditanya hal seperti itu, aku tidak punya jawaban yang bagus.

  "Um. Ah...Sable mungkin akan sedikit kesepian, tapi jika dia belajar terbiasa dengan itu, maka akan bagus."

  "Un. Dia akan baik-baik saja!"

  Meskipun kata-kataku tidak jelas, Yuigahama mengangguk dengan semangat. Oh, jadi kamu percaya dengan kata-kataku...

  "...Karena kalau sedang di rumah, Sable selalu bermain dengan Mama."

  "Oh, jadi begitu ya..."

  Anjing ini tampaknya punya indra yang bagus untuk melihat sebuah kasta di rumah. Dia mungkin tidak akan mempedulikan Yuigahama. Tapi, itu juga bisa berarti kalau frekuensi dia akan mendekati Yukinoshita juga akan cukup rendah. Juga, dia bisa memakai peluang ini untuk terbiasa dengan anjing.

  "Kalau begitu, aku pulang dulu."

  Sambil mengatakannya, aku mengelus lembut kepala Sable, yang digendong Yuigahama.

  "Umm. Selamat tinggal."

  "Selamat tinggal."

  Keduanya melihatku pergi. Setelah berjalan di koridor untuks esaat, aku bisa mendengar gonggongan dari Sable. Aku biarkan semua pikiranku mengenai apa yang terjadi di rumah Yuigahama di belakang kepalaku.







*  *  *






  Setelah sampai di rumah dan memakan makan malamku, aku merangkak menuju kolong kotatsu dan melingkarkan badanku, lalu bersiap menghabiskan waktuku dengan membaca buku.

  Kedua orang tuaku, yang kebetulan sekali sudah pulang lebih dulu, sudah tidur sejak tadi. Ruang keluarga ini hanya ada diriku dan Kamakura. Tapi, tidak lama kemudian Kamakura sudah membulatkan tubuhnya menjadi seperti bola di atas selimut kotatsu dan tertidur begitu saja. Kini, satu-satunya orang yang masih terbangun disini hanyalah diriku.

  Lalu, pintu ruang keluarga terbuka, dan Komachi berjalan masuk, memakai piyama dan topi tidurnya.

  "Kamu masih belum tidur?"

  "Um. Aku ingin tidur, tapi aku masih ingin melakukan sesuatu dulu."

  Setelah mengatakannya, Komachi berjalan menuju dapur.

  "Terserah kamulah, tapi segera tidur."

  "Uh uh."

  Meskipun hatiku sedang gamang, karena ingin bertanya kepadanya apakah tidak masalah belum tidur di jam selarut ini karena besok dia ada Ujian Masuk SMA Sobu. Tapi, responnya hanyalah "uh uh". Lalu, terdengar suara "chichichi" dari arah kompor di dapur.

  Aku sempat berpikir kalau dia mungkin sedang memasak sesuatu, hanya sekedar untuk mengisi perut, karena aku mendengar suara dari rak dapur seperti hendak mencari sesuatu. Ketika aku berpikir kalau dia belum tidur karena kelaparan, dia lalu berjalan ke arah kotatsu.

  "Ini, ambil ini."

  "Uh, ah, terima kasih."

  Komachi memberiku sekaleng MAX COFFEE. Aku menerimanya dan merasakan kaleng tersebut masih hangat. Tampaknya dia memanaskannya dengan memasukkan kalengnya di air panas. Gadis ini luar biasa...

  "Oni-chan, kakimu mengganggu..."

  Sambil mengatakannya, dia menendang kakiku keluar dan mulai ikut masuk ke kotatsu. Lalu, kami berdua mulai meminum kopi panas kami.

  "...Besok adalah hari H-nya..."

  "Benar. Kalau kau tahu, maka cepatlah tidur setelah meminum ini. Besok sudah ujianmu..."

  Well, kamu bisa memperoleh tidur yang enak jika sebelum tidur kamu meminum kopi yang hangat. Apakah di masa depan kelak kaleng kopi ini bisa dikategorikan sebagai pengobatan medis? Aku bahkan merekomendasikan ini bagi siapa saja.

  Tapi, ini tidak seperti apa yang Komachi pikirkan.

  "...Tidak, besok adalah Valentine. Sebagai seorang pria, apa Oni-chan tidak merasa tertarik dan berdebar-debar?"

  Wajahnya tampak terkejut ketika mengatakannya.

  Kalau dipikir-pikir, beraninya dia memikirkan Valentine sementara besok adalah ujian masuknya...Putri rumah ini tampaknya punya keberanian yang luar biasa. Tampaknya aku tidak perlu bertanya lebih jauh kepadanya apakah dia siap dengan ujiannya atau tidak.

  "Aku pastinya tidak akan menjadi pria seperti yang kau katakan tadi. Semua pikiran dan perhatianku hanyalah untuk Komachi pada saat ini."

  "Itu karena Oni-chan terlalu perhatian kepada Komachi. Menjijikkan. Akan lebih baik jika Oni-chan mulai memikirkan diri Oni-chan sendiri pada saat ini."

  "Aku sudah selesai memikirkannya."

  "Bukan itu maksudku. Bukan, Oni-chan saat ini jelas-jelas sedang menghibur dirinya sendiri, terlihat jelas dari cara Oni-chan meminum kopi yang manis tadi."

  Aku melanjutkan acara minum kopiku sambil mengatakannya tadi. Komachi lalu mulai tersenyum...Tunggu, kalau tidak salah dia baru saja mengatakan hal yang buruk tentangku?

  Jika kamu memanggil saudaramu menjijikkan, aku mungkin nantinya akan melakukan hal-hal yang menjijikkan untukmu.

  "Benar juga, ngomong-ngomong soal manis, beri aku coklat dong, ayolah berikan aku coklat!"

  "Bukankah aku baru saja memberikan sesuatu yang sejenis dengan itu barusan?"

  Komachi menunjuk kaleng MAX COFEE di tanganku dengan dagunya. Bukan, bukan, ini bukan seperti itu. Yang kuinginkan bukanlah semacam kopi ini. Aku tidak bisa merasakan cinta di kopi ini, aku ingin merasakan cinta...

  "...Komachi, kamu tidak menyukai Oni-chan?"

  "Tidak,"

  Komachi langsung meresponnya dengan tawa yang sinis. Woo, woo, aku mulai terlihat sedih ini...


  Kejam sekali...Well, ini juga semacam bukti kalau hubungan kita sudah sangat baik sampai saat ini jika kita sudah punya pembicaraan yang seperti ini.

  Entah kami becanda atau mengejek, atau membahas kesukaan dan hal yang tidak kita suka, apapun jawaban kita, kita akan selalu menjawabnya dari hati kita yang paling dalam.

  Lima belas tahun yang kami habiskan bersama memang bukan isapan jempol.

  Lalu, bagaimana dengan Yukinishita bersaudara? Dan juga, antara Yukinoshita dan Ibunya?


  Mereka bahkan telah bersama-sama selama lebih dari 15 tahun, tinggal di atap yang sama, memiliki kenangan bersama-sama, dan hal-hal yang mereka lakukan bersama. Melihat semua itu, ketika mereka tiba di persimpangan jalan, mereka masih tidak bisa memahami satu sama lain, dan kemudian, bagaimana mereka nantinya bisa berinteraksi dengan orang lain secara normal?


  Hubungan kakak laki-laki dan adik perempuan yang kumiliki tidak akan bisa terjadi jika tanpa Komachi. Bahkan, banyak hal yang harusnya aku ucapkan terima kasih karena Komachi.

  ...Meski begitu, itu adalah itu, dan coklat adalah coklat.

  "Cepatlah berikan aku coklat..."

  Melihatku hendak menangis seperti itu, Komachi menatapku dengan frustasi, dia lalu merangkak keluar dari kotatsu dan pergi entah kemana.

  Tampaknya dia sudah tidak tahan melihat sikapku tadi...Tepat ketika aku berbaring di bawah selimut kotatsu dan sudah terlihat putus asa, Komachi tiba-tiba kembali masuk ke dalam kotatsu.

  "Ini..."

  Lalu, dia membaringkan kepalanya di punggungku dan hendak memberiku sesuatu.

  Aku memalingkan kepalaku, dan ternyata itu adalah coklat yang dibungkus dengan indah.

  "...Apa ini, untukku?"

  "Well, ini sesuatu yang sederhana. Karena Oni-chan dari tadi merengek-rengek memintanya..."

  Dia tampaknya memberikannya kepadaku dengan wajah kesal. Aku peluk kotak coklat ini dengan erat dan berulang kali mengucapkan terima kasih disertai air mata yang hendak menetes ini. Dia ternyata sudah mempersiapkan ini untukku. Adikku ini memang luar biasa...

  Melihatku dengan ekspresi itu, dia tampak terkejut dan tersenyum kecut.

  "Komachi akan benar-benar sangat bahagia jika Oni-chan mengatakan kata-kata itu ke gadis yang lain selain Komachi..."

  "Kamu pikir dengan siapa lagi aku bisa mengatakan kata-kata memalukan seperti itu kalau tidak dengan kamu...? Kalau dipikir-pikir, kan rasanya kurang berharga jika aku diberi coklat karena aku memintanya."

  Ketika aku mengatakannya, Komachi menatapku tajam.

  "Jadi, coklatku barusan tidaklah berharga?"

  "...Ah, bukan...Bukan begitu? Coklat Komachi berbeda. Spesial. Komachi adalah yang paling manis dan terbaik."

  "Kamu jangan terlalu serius soal ini, dasar Kakak sampah!"

  Komachi menghela napasnya dan mengatakannya tanpa ekspresi.

  "...Tapi, jika seseorang seperti Oni-chan yang sangat buruk dalam berpura-pura bisa menerima coklat dariku, kupikir aku masih bisa melihatnya dengan senang."

  Komachi mengatakannya dengan senyum yang lebih dewasa dari biasanya. Dia menaruh tangannya di dagu sambil berbaring di kotatsu, menganggukkan kepalanya, lalu melihat ke arahku dengan hangat.

  Aku merasa agak malu melihat ekspresinya yang seperti itu. Lalu, aku memalingkan mataku.

  "Apa barusan itu artinya aku baru sama mendapatkan nilai tinggi untuk point Komachi?"

  "Tidak, jika maksudmu kejadian tadi, maka nilaimu cukup rendah."

  Aku meneguk habis tetes terakhir dari kopi hangat ini.

  Kopi ini sangat manis hingga mulutku seperti sudah tidak ingin meminum apapun setelah ini.

  "Kalau begitu, kupikir aku akan segera tidur saja."

  "Oh, cepat pergi tidur sana!"

  Komachi mengambil kaleng-kaleng kosong tersebut dan melemparnya di tempat sampah yang berada di dapur. Ketika Komachi berjalan menuju pintu, Kamakura yang baru saja bangun, mengikuti langkahnya dari belakang.

  "Oh, Ka-kun. Mau tidur bersama?"

  Kamakura tidak melakukan "meow" untuk meresponnya, tetapi dia menggosok-gosokkan kepalanya di kaki Komachi. Komachi terlihat tersenyum, lalu dia menggendong Kamakura.

  Aku memanggilnya ketika dia membuka pintu ke tangga menuju kamarnya.

  "Komachi."

  "Apa?"

  "Aku akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu besok. Selamat tidur."

  "Uh uh. Terima kasih. Aku akan lakukan yang terbaik. Selamat tidur."

  Meski Komachi tidak mengatakan banyak hal, tapi aku bisa melihat keceriaan disana. Dengan menggendong Kamakura, dia kembali ke ruangannya.

  Setelah melihatnya pergi, aku menaruh lenganku di belakang kepalaku dan berbaring.

  "Sangat buruk dalam berpura-pura..."

  Kata-kata tersebut yang Komachi katakan untuk menggambarkan diriku, tapi diriku entah mengapa tidak bisa menerima kata-kata tersebut.

  Aku tidak pernah mencoba untuk lebih dekat ke orang lain, tapi, aku juga tidak berinisiatif untuk menjaga jarak dari orang lain.

  Aku sangat sadar dengan apa yang aku lakukan, aku sudah menggambar sebuah garis yang cukup jelas, mengecat lantainya sejelas mungkin, berusaha keras agar tidak lewat dari garis itu, tidak ikut campur masalah orang, dan selalu memilih peran 'si pengamat' dengan cara apapun. Aku sadar betul kalau jalan hidupku ini tidak adil bagi semua orang.


  Demi tidak ada seorangpun yang melewati garisku ataupun aku melewatinya, aku tidak akan mengakuinya dan perasaan tidak nyaman ini selalu menggangguku, maka akhirnya aku memilih untuk menjaga jarakku.

  Aku sepenuhnya menyadari hal itu, aku melakukan ini karena tidak ingin berbuat blunder. Aku tahu kalau hanya ada satu jalan keluar dari masalah ini, dan yang kulakukan saat ini bukanlah hal itu. Dan diriku, yang kulakukan selama ini hanyalah berusaha meredam hal itu.


  Oleh karena itu, dia menjadi satu-satunya orang yang bisa melihat maksud perbuatanku ini.

  Sekali lagi, suara yang entah dari mana tiba-tiba muncul dan menggangguku.






  APAKAH KAU ORANG YANG SEMACAM ITU, HIKIGAYA HACHIMAN? APAKAH INI YANG BENAR-BENAR KAU INGINKAN? DASAR BAJINGAN!






  Suara hati yang berisik! Jangan banyak omong dan tutup mulutmu itu jika kau tidak tahu apapun tentang diriku!



  Pada akhirnya, perdebatan di hatiku ini, hanya bisa kurasakan dalam kesunyian ruangan ini.






x Chapter VII | END x





  Melihat bagaimana Yukino meminta maaf sambil melirik ke arah Hachiman, mudah saja menyimpulkan kalau kejadian tadi malam, pembicaraan antara Yukino dan Ibunya ada keterkaitan dengan Hachiman.

  Ini diperkuat oleh adegan ketika Hachiman pulang dari apartemen Yukino, Ibu Yukino mengamati Hachiman dengan serius.

  ...

  Baiklah, besok tanggal 14 Februari, dan sekolah diliburkan karena ada ujian masuk siswa baru. Artinya, hari ini adalah hari terakhir untuk memberikan coklat Valentine jika berencana memberikannya di sekolah.

  Diketahui, Yukino ternyata sepulang dari event memasak coklat, membuat kue di apartemennya.

  Pertama, ada kue coklat yang dijadikan camilan di Klub.

  Kedua, Yui diberi kue camilan yang sama dengan yang ada di meja.

  Ketiga, Hachiman tidak diberi hal serupa oleh Yukino.

  Jelas di hari itu, Hachiman akan menerima coklat Valentine dari Yukino. Kue-kue yang ada di meja itu hanyalah kue 'sampingan' yang dipanggang bersamaan dengan coklat Valentinenya.

  Bukti ini diperkuat oleh berbagai monolog Hachiman yang salah tingkah dan berharap Yukino memberinya coklat. Situasi keduanya terasa awkward, jelas ada sesuatu yang penting hari itu.

  ...

  Keputusan Yukino untuk memberikan coklat ke Hachiman sepulang sekolah, dan tidak keberatan meski Yui tahu, berarti Yukino sudah memutuskan untuk bergerak lebih dulu dan memilih tidak mempedulikan kata orang.

  Namun disini tricky-nya, Yukino tidak tahu kalau Yui mencintai Hachiman. Yukino mempercayai kata-kata Yui yang terus menyangkal kalau dia menyukai Hachiman di vol 3 chapter 6. Yeah, Yui berbohong di vol 3 chapter 6, sayangnya Yukino percaya itu.

  Sedang bagi Yui sendiri, ini menjelaskan banyak hal...terutama satu fakta...Yukino mencintai Hachiman.

  Hal lain yang Yui pelajari disini adalah...Yukino mempercayai semua kata-kata Yui tentang penyangkalan Yui atas perasaannya ke Hachiman di vol 3 chapter 6. Alias, Yukino memilih untuk mempercayai Yui, yang dianggap sahabatnya. Padahal, Yui waktu itu jelas-jelas sudah berbohong. Yui di vol 3 chapter 6 jelas-jelas mencintai Hachiman.

  ...

  Haruno mengatakan kalau Yukino harusnya sudah bisa menebak apa alasan Ibu mereka menyuruh Haruno tinggal satu apartemen dengannya.

  Menurut anda?

  Sebenarnya ini sudah dijelaskan di vol 3 chapter 4, Haruno mengancam Yukino untuk hati-hati dan tidak main-main karena tinggal sendirian di apartemen. Kejadian Ibunya melihat Yukino secara langsung pulang bersama pacarnya ke apartemen, membuat situasinya menjadi rumit.

  ...

  Catatan khusus disini, sejak awal pertemuan di chapter ini, Hachiman berniat untuk konfrontasi dengan Haruno. Sayangnya, Haruno selalu selangkah di depan Hachiman.

  ...

  Menarik, di vol 10 chapter 2 Hachiman berkata dalam monolognya kalau dia sangat ingin bertemu orang tua Yukino. Tapi ketika ada di rumah Yui, tidak ada monolog serupa tentang orangtua Yui.

  ...

  Yukino mengatakan menginap di rumah Yui, tapi Haruno langsung meminta untuk disambungkan ke Hachiman. Haruno seolah-olah tahu kalau disana pasti ada Hachiman. Jika kita memakai akal sehat, harusnya Haruno berbicara ke tuan rumah, yaitu Yui terlebih dahulu.

  Apa maksud Haruno ini dan mengapa langsung memutuskan teleponnya?

  Jika saya berada dalam posisi Haruno, itu adalah langkah yang bagus untuk memberikan tekanan kepada Hachiman kalau semua ini adalah salah Hachiman.

  Gara-gara Hachiman, Yukino kini kehilangan haknya untuk tinggal sendirian di apartemennya. Gara-gara Hachiman, kini Yukino kesulitan kembali ke apartemennya.

  ...

  Hachiman mulai merenung ketika Komachi mengatakan kalau Onii-chan yang dia kenal adalah Hikigaya Hachiman yang tidak pandai berpura-pura.

  Ini jelas mengingatkan Hachiman dengan sikapnya yang memilih kooperatif dengan perasaan Yui. Memilih membiarkannya mengambang, pura-pura tidak tahu, pura-pura tidak punya ketertarikan untuk berpacaran, pura-pura tidak punya gadis yang disukai, dll.

  Hachiman terpaksa melakukannya karena ada hubungan orang lain (pertemanan Yui-Yukino) yang dipertaruhkan jika Hachiman memberikan jawaban yang jujur atas perasaan Yui. Juga, itu membuat Hachiman menjadi Kaori versi lainnya.

  Satu-satunya jalan keluar agar Hachiman bisa menjadi dirinya sendiri adalah memberitahukan kebenarannya kepada Yui.


   

1 komentar:

  1. Perdebatan dalam hati, jadi itu hachiman dengan alter ego nya?

    BalasHapus