Rabu, 06 April 2016

[ TRANSLATE ] Biblia Vol 1 Chapter 3 : Vinogradov/ Kuzmin "Perkenalan Logika" (Aoki Paperback)


"Yang seorang gadis cari adalah pria tampan dan kaya, tapi yang dicari seorang wanita adalah laki-laki baik dan bertanggung jawab".
x  x  x












  Tidak ada respon ketika aku mengetuk pintunya, jadi kubuka pintunya dan masuk ke kamar rumah sakitnya.

  Matahari yang mulai terbenam terlihat jelas dari jendela kamarnya, dan aku bisa melihat kalau kasurnya dipenuhi banyak sekali tumpukan tinggi dari buku-buku. Pemilik toko tempatku bekerja, Shioriko Shinokawa, tidak terlihat dimanapun.

  Dia mungkin sedang melakukan program rehab, dan dia tidak akan ada di ruangan ini untuk sementara waktu. Mungkin dia keluar terburu-buru, karena laptopnya dibiarkan berada di atas meja dekat tempat tidurnya. Meski ini rumah sakit yang relatif aman, tapi dia terlalu menganggapnya mudah. Ada sebuah laci di samping kamar tidur yang bisa dipakai untuk menyimpan itu, tapi dia tampaknya tidak berminat untuk menggunakannya.

  Kulangkahkan kakiku dan masuk ke ruangannya. Belakangan ini, seperti menjadi kebiasaan rutin bagiku untuk menjaga toko dari pagi dan membawa buku yang dititipkan pelanggan ke tempat ini ketika sore. Dia akan menilai harga bukunya, lalu kubawa lagi bukunya ke toko, negosiasi dengan pelanggan, dan jika sudah tercapai kata sepakat, toko membelinya – pekerjaanku ini ternyata cukup mudah dan tinggal mengulangi kegiatan-kegiatan yang sama tiap harinya.

  “Ha...Halo...”

  Terdengar suara yang lembut, dan akupun menoleh ke asal suara itu. Ada seorang wanita memakai piyama biru dan sweater cardigan duduk di kursi roda berada di pintu masuk ruangan ini. Dia memiliki rambut hitam yang panjang dan frame kacamata yang tebal. Tampaknya dia tidak tahu harus melakukan apa karena dia sedari tadi hanya menundukkan kepalanya dan terlihat gugup.

  “Ah, halo.”

  Akupun berpindah ke pinggir, dan dia masuk ke ruangan menggunakan kursi roda. Ada seorang perawat, wanita paruh baya, yang mendorong kursi rodanya. Si perawat tampak kesulitan untuk mendorong kursi roda tersebut karena harus menghindari banyak rintangan di lantai. Gerakannya cukup terlatih, tapi roda kursi tersebut akhirnya menabrak tumpukan buku, dan menara yang terbuat dari tumpukan ‘Seri Ideologi Jepang’ jatuh berserakan.

  “Ah!”

  Dua wanita yang ada di ruangan ini mengatakan hal yang sama; Shinokawa memeriksa buku-bukunya, sementara itu si perawat memeriksa kursi rodanya.

  “...Kan sudah kuperingatkan sebelumnya, tolong kurangi jumlah buku-buku yang ada disini.”

  Si perawat itu memperingatkan dengan tegas sambil membantu Shinokawa berpindah dari kursi roda ke kasurnya. Tampaknya dia sudah diperingatkan sebelumnya, tapi kurasa adegan ini bisa ditebak dengan mudah.

  “...Y-Ya. Maaf, akan kuingat itu baik-baik...”

  Shinokawa menundukkan kepalanya, tapi aku sendiri ragu apa dia benar-benar akan melaksanakan itu. Gadis cantik ini adalah seorang kutu buku garis keras, dan membaca adalah sebuah kegiatan yang penting, sepenting bernapas. Jika selama ini memperingatkannya ternyata tidak membuatnya berubah, bukankah memperingatkannya lagi adalah hal yang sia-sia?

  “Kau juga, tolong ingat ini baik-baik!”

  Tiba-tiba si perawat komplain kepadaku. Aku yang sedari tadi hanya melihat percakapan mereka, mendengar peringatan si perawat, aku hanya bisa menarik leherku.

  “...Aku?”

  “Benar! Tolong jangan bawa buku lagi kesini. Meski dia itu pacarmu, kau tidak boleh memanjakannya!”

  “Eh...”

  Aku tidak tahu harus mengatakan apa. Si perawat melipat kursi roda itu, dan menaruhnya di pinggir meja, menatap kami berdua, dan berjalan keluar.

  “...Ini cukup merepotkan.”

  Kata-kata yang tidak jelas dariku itu memecah kesunyian.

  Tentunya, kami ini bukan sepasang kekasih, tapi hubungan diantara kami tidak sesederhana karyawan-pemilik toko. Dia ingin mengobrol tentang buku-buku dengan orang lain, tapi tidak ada yang mau mendengarkannya, dan situasi ini membuat dirinya bisa membicarakan itu denganku. Aku, yang tidak bisa membaca meskipun ingin, bisa mendengarkannya sebanyak yang dia mau. Kami memiliki semacam hubungan yang saling support satu sama lain.

  “Y-Ya...I-Ini memang merepotkan.”

  Shinokawa mengatakan itu dari kamar tidurnya. Telinganya tampak memerah.

  “..Pa-Pasti sangat merepotkan...Ke-Ketika dia bilang kalau A-A-Aku ini pa-pacarmu, Goura-san.’

  “Bukan, bukan, bukan! Maksudku bukan yang itu!”

  Aku, yang hendak melanjutkan itu, mencoba menjelaskannya dengan cepat.

  “Aku hanya ingin mengatakan kalau aku tidak enak sudah membuat orang lain salah paham! Kalau aku sendiri, aku tidak masalah soal itu! Aku tidak merasa itu menggangguku. Malahan, aku ingin mengatakan kalau aku senang mendengarnya.”

  Aku tiba-tiba menutup mulutku. Barusan itu benar-benar penjelasan yang aneh; apa barusan itu semacam kalimat yang mengatakan aku menyukai dirinya?

  “Ah...Jadi kita memikirkan hal yang sama...Aku juga begitu.”

  Dia mengatakan itu. Aku ingin bertanya lagi, sama dibagian ‘tidak enak karena salah paham’? Atau bagian yang ‘senang mendengar kita dikira berpacaran?’. Tapi, aku menyia-nyiakan kesempatan itu ketika memilih kata-kata yang akan kuucapkan selanjutnya.

  “Ba-Bagaimana rehabnya? Apa kau sudah bisa berjalan?”

  Pada akhirnya, aku menanyakan sesuatu yang tidak ada hubungannya, dan mengganti topiknya.

  “...Y-Ya...Aku bisa berjalan...Tapi sedikit...Dengan dibantu...”

  “Apa dokter sudah mengatakan kapan kau boleh keluar?”

  “Belum...Mungkin bulan depan?”

  “Begitu ya.”

  Bagi orang luar, pembicaraan semacam ini jelas terlihat level basa-basinya. Tapi ini bisa juga dikategorikan perkembangan jika melihat situasi di masa lalu. Gadis ini biasanya kesulitan membicarakan sesuatu di luar buku.

  Kurasa, ini saatnya ke urusan pekerjaan. Aku lalu duduk di kursi bundar itu, mengambil buku-buku dari tas, dan memberikannya kepadanya.

  “...Tolong nilai buku-buku ini.”

  Vinogradov Kuzmin ‘Perkenalan Logika’. Terlihat seperti buku tua; kondisi bukunya terlihat kurang bagus, sampulnya banyak yang mengelupas dan ujung bukunya terlihat usang.

  “Ah, ini terbitan Aoki Paperback!”

  Meski begitu, dia menerima buku ini dengan senyum yang ceria, seperti terakhir kali, dia terlihat seperti orang yang berbeda. Dia mulai mengelus-elus sampulnya secara perlahan seperti mengelus kepala anak anjing.

  “Sudah agak lama dari waktu aku terakhir kali melihatnya! Buku ini dan penerbitnya sudah tidak ada lagi di dunia ini.”

  Jujur saja, ini pertamakalinya aku mendengar nama ‘Aoki Paperback’. Buku ini mungkin edisi terbatas.

  “Memangnya berapa harganya?”

  “Bukan begitu...Masalahnya bukan di harga.”

  Dia terlihat mencondongkan kepalanya ke arahku.

  “Eh? Ini buku yang langka kan?”

  “Buku ini memang bagus, tapi tidak ada permintaan konsumen terhadap buku ini di pasar toko buku bekas...Kondisi buku ini juga tidak begitu bagus. Buku ini mungkin bisa terjual dengan harga 500Yen.”

  Aku membuka lebar-lebar mataku. Ini jauh berbeda dengan terbitan Sanrio SF Paperback yang dibawakan oleh si pemburu buku Shida, tempo hari.

  “Aoki Paperback adalah perusahaan yang berdiri dari gabungan beberapa penerbit kecil, dan sudah beroperasi sekitar 30 tahun sejak berdiri tahun 1950-an. Kebanyakan terbitannya tentang ideologi sosial dan komunisme jaman dulu. Buku ini, Perkenalan Logika, seperti namanya, menjelaskan tentang logika tertentu. Cetakannya tidak banyak, dan selalu populer...Memangnya orang yang menyerahkan buku ini seperti apa?”

  “Hmm, dia adalah pria berusia sekitar akhir 50-an, dia memakai setelan jas...”

  Saat itu, aku berhenti sejenak. Mengenai pelanggan ini, ada beberapa hal yang tidak bisa dijelaskan oleh beberapa kata.

  “...Apa ada sesuatu?”

  “Sebenarnya, ada sesuatu yang ingin kuberitahukan kepadamu. Pelanggan ini agak aneh...”

  “Aneh? Aneh bagaimana?”

  Dia memiringkan kepalanya seperti bertanya-tanya akan sesuatu.

  “Yeah. Ini panjang ceritanya...”









x  x  x









  Meski ini awal bulan September, pria ini memakai setelan jas, dan dasinya terlihat diikat dengan kencang. Rambutnya tertata rapi, dan kumisnya terlihat dipotong dengan rapi, memberiku kesan kalau dia ini adalah manajer dari sebuah bank. Tapi, dia memakai kacamata yang entah mengapa terlihat mencurigakan.

  Pria itu berjalan ke toko, dan langsung menuju kasir tanpa menoleh ke kanan-kiri. Dia tinggi dan kurus, kulitnya terlihat kecoklatan.

  “Aku ingin menjual buku ini.”

  Dia mengatakan tiap kata dengan nada yang dalam, dan menaruh buku Perkenalan Logika di depan meja kasir. Kesanku kalau dia ini manajer bank berubah. Mungkin dia ini seorang penyiar radio yang berpengalaman, atau mungkin komentator.

  “Yang bertugas menilai buku sedang tidak ada di toko. Apakah anda tidak keberatan meninggalkan bukunya disini?”

  Aku menjelaskan masalahnya kepadanya. Setelah 3 minggu bekerja, aku mulai terbiasa dengan menyapa pelanggan di toko ini.

  “Tentu.”

  “Terima kasih banyak. Tolong tulis nama dan alamat anda disini.”

  Akupun memberikan slip dan pena ke meja, dan menggunakan jari telunjukku untuk menunjuk kolom nama dan alamat. Pria itu melepas kacamatanya, mengambil pena, dan mulai menulis. Namanya Masashi Sakaguchi, lahir 2 Oktober 1950, dan tinggal di kota Zushi, sebelah Kamakura.

  Tulisan tangannya tidak bisa dikatakan bagus, dan sangat kontras dengan tampilannya yang rapi. Mungkin dia ingin menulis dengan rapi, tapi tulisannya banyak yang keluar dari kotak.

  Secara tidak sengaja, aku melihat sebuah bekas luka di salah satu sudut mata Sakaguchi. Mungkin kacamata itu dipakai untuk menyembunyikan bekas luka itu.

  Bekas luka itu tidak terlihat seperti didapat olehnya baru-baru ini, dan itu membuat wajahnya terlihat menakutkan. Ini memberikan kesan yang sangat berbeda kepadaku. Pria ini memakai setelan jas yang rapi, dan suara yang dalam dengan bekas luka di wajah – mengkombinasikan semua faktor itu bersama, aku tidak tahu dia ini pekerjaannya apa dan orangnya seperti apa. Dia hanya menulis ‘karyawan’ ketika mengisi kolom pekerjaan.

  “Apa ini cukup? Harganya tidak masalah. Kalau memang tidak mau membelinya, aku tidak keberatan untuk mengambilnya kembali.”

  “Aku paham.”

  “Aku akan datang lagi besok sore, dan kuharap penilaian bukunya sudah selesai. Kalau ada perubahan soal jadwal pertemuannya, tolong hubungi aku kapan saja. Itu saja dariku. Apa ada pertanyaan lain?”

  Tidak ada yang ingin kukatakan lagi, tapi ini tetap terasa aneh.

  “Tidak, kurasa tidak ada.”

  “Begitu ya. Kalau begitu kuserahkan sisanya kepadamu.”

  Sakaguchi lalu memasang kembali kacamatanya, dan meninggalkan Toko Biblia dengan cara berjalan yang sama ketika masuk ke toko ini.









x  x  x









  “...Dia sepertinya orang yang sangat cermat.”

  Shinokawa mengucapkan itu setelah aku menceritakannya.

  “Yeah. Mungkin saja dia terlihat cermat, tapi entah mengapa aku merasa itu dibuat-buat...Well, mungkin aku merasa dia memang terlalu cermat.”

  Aku bukannya mau menyindir Sakaguchi, tapi aku mulai curiga karena dia selalu menjawab dengan capat tanpa ragu. Dia tampaknya sudah tahu harus menjawab apa, seperti sudah tahu semua kemungkinan percakapan yang timbul akan ke arah mana. Mungkin saja dia orang yang cermat, lebih tepatnya – super cermat.

  “Apa ada alasan lain sehingga kau menganggapnya aneh, Goura-san?”

  Aku agak terkejut dengan pertanyaannya – gadis ini punya rasa ingin tahu yang sangat besar.

  “Yeah, ada bagian kedua dari cerita pria itu.”

  Aku melanjutkan lagi. Benar, ini adalah awal dari masalah.

  “Satu jam setelah kepergian Sakaguchi...”









x  x  x









  Aku ingat waktu itu jam 2 siang lebih; aku sedang mengobrol dengan pemburu buku, Kasai, yang datang ke Toko Biblia. Dia tampaknya menerima beberapa permintaan mengenai buku-buku antik lewat internet, dan tidak tahu harus bersikap apa karena pengetahuannya akan buku sangat kurang. Dia meminta bantuan Shida, dan juga berpikir meminta bantuan ke Toko Biblia; tentunya, dia menjanjikan fee kepada kami.

  Kupikir itu bukanlah transaksi yang buruk, tapi telepon di toko berbunyi.

  “Selamat siang. Disini Toko Buku Bekas Biblia...”

  Aku menjawabnya, dan ketika hendak menyebutkan namaku, sebuah suara yang tinggi terdengar dan membuat telingaku berdengung.

  “Halo, apa ini toko buku bekas? Apa kau membeli buku milikku? Apa ada seorang pria bernama Sakaguchi ke tempatmu dan menjual buku? Tinggi, tampilan agak menakutkan, dan suaranya tegas. Masashi Sakaguchi. Dieja Masa-shi-Saka-guchi...”

  Waktu itu, aku baru saja pulih dari kondisi telinga yang berdengung.

  “Boleh saya tahu siapa anda?”

  “Aku istrinya Sakaguchi...Jujur saja, agak aneh untuk mengatakan ini secara formal. Kukukukuku, serius ini!”

  Entah mengapa, ada suara tawa yang bercampur dengan kata-kata yang aneh. Sebenarnya orang ini seperti apa? Pria yang bernama Sakaguchi sikapnya aneh, tapi wanita yang mengaku istrinya ini malah bersikap lebih aneh. Ngomong-ngomong, apa dia benar-benar istrinya? Apa tidak apa-apa mengatakan Sakaguchi baru saja kesini?

  “Jadi bagaimana? Apa suamiku kesana?”

  Dia menanyakan itu. Dia tahu nama Sakaguchi dan dia tahu kalau kedatangannya untuk menjual buku. Mungkin dia benar-benar istrinya, dan ini mungkin urusan penting.

  “...Ya, dia memang kesini.”

  “Begitu ya? Apa dia sudah menjual buku itu? Apa sekarang buku itu sudah berpindah tangan?”

  “Tidak. Dia meninggalkan bukunya ke kami. Orang yang bertugas menilai harga buku itu akan menilainya nanti.”

  “Kapan bukunya selesai dinilai?”

  “Sore ini...”

  “Jadi suamiku akan kesana lagi. Hari ini? Atau besok?”

  “Besok.”

  “Oke! Terima kasih banyak! Siapa namamu?”

  “Goura.”

  “Goura-san? Kalau begitu, nanti kuhubungi lagi, Goura-san.”

  “Eh?”

  Secara spontan aku bertanya. Maksudnya apa? Tapi dia sudah menutup telponnya.









x  x  x









  “...Dia sepertinya orang yang ceria.”

  Shinokawa mengatakan kesannya. Apa seperti itu dikategorikan ceria?

  “Bagaimana menurutmu? Sepertinya terjadi sesuatu diantara mereka berdua, benar tidak?”

  Dia menaruh jarinya di depan bibirnya, dan berpikir sejenak. Lalu, dia bertanya.

  “Apa istri dari Sakaguchi itu datang ke toko setelah menutup telponnya?”

  “Tidak. Memangnya kenapa?”

  “Bukankah dia bilang akan menghubungimu lagi? Kupikir dia hendak menuju ke toko.”

  “Eh?”

  Setelah mendengarkan perkataannya, kurasa itu yang dimaksud istri Sakaguchi. Bahkan dia bertanya namaku di telpon.

  “Tapi apa yang dia inginkan dengan mendatangi toko kita?”

  “Dia ingin mendapatkan buku itu sebelum terjual, kurasa begitu...Karena itu, dia bertanya kapan kita akan menilai buku itu, dan kapan suaminya akan datang kembali ke toko.”

  “Ah...”

  Begitu ya. Setelah memikirkan itu baik-baik, aku bisa paham mengapa dia menyerangku dengan banyak sekali pertanyaan – meski aku sendiri tidak yakin, setidaknya ini menjelaskan sesuatunya.

  “Kalau begitu, ini buku milik istrinya?”

  “Kenapa kau berpikir begitu?”

  “Dia ingin mencegah buku ini terjual, benar kan? Mungkin ini buku miliknya yang entah mengapa tiba-tiba ada yang hendak menjualnya atau sejenis itu...”

  “Kurasa bukan itu masalahnya.”

  Shinokawa mencondongkan kepalanya.

  “Kalau benar itu masalahnya, dia akan menjelaskan itu dari awal kepadamu, Goura-san...Dia bukanlah tipe wanita yang bisa mengontrol emosinya, benar tidak?”

  “...Begitu ya?”

  Dia tidak tampak seperti wanita yang marah ke suaminya sama sekali. Mungkin lebih tepatnya, dia tertawa ketika dia menyebut dirinya adalah istri Sakaguchi. Jika buku itu adalah sesuatu yang suaminya jual tanpa persetujuannya, dia pasti menambah beberapa kata makian di telpon tadi.

  “Hmm? Jadi dalam kasus ini, pria bernama Sakaguchi ingin menjual buku ini, tapi istrinya ingin menghentikan ini?”

  “Ya, kurang lebih begitu.”

  Shinokawa menunjukkan sampul buku Perkenalan Logika kepadaku. Ada sebuah stempel bermotif bulan sabit di bawah judul buku. Sampulnya cukup sederhana, kurasa buku-buku tua kebanyakan sampulnya seperti ini.

  “Buku ini pasti mengandung semacam rahasia.”

  Dia mulai membolak-balik halamannya, dan aku juga mendekatkan tubuhku dengannya agar bisa melihatnya. Tidak seperti Koleksi Karya Soseki, disini tidak ada tanda tangan ataupun tulisan, dan tidak ada halaman yang ditandai. Tampaknya kondisi buku ini yang kurang bagus disebabkan oleh seringnya buku ini dibaca, bukan karena kesalahan perawatan atau sejenisnya.

  “Lalu, buku ini bercerita tentang apa?”

  Tanyaku. Kurasa itu pertanyaan yang paling mendasar soal buku ini, tapi Shinokawa tampak tidak keberatan dengan itu.

  “Buku ini mengajarkan silogisme. Hmm...Contoh sederhananya misalnya A sama dengan B, lalu B sama dengan C; karena itulah A sama dengan C, sejenis itu...”

  Kucoba untuk mengingat-ingat, tampaknya aku pernah mendengar ini sebelumnya.

  “...Sejenis penarikan kesimpulan secara induktif?”

  “Ya. Logika seperti itu, jika dijelaskan dengan simbol matematika, disebut silogisme. Buku ini dijadikan buku pelajaran di Rusia...Kalau dulu, namanya Uni Soviet, lalu buku ini juga diterjemahkan ke bahasa China. Biasanya, isinya perkenalan tentang logika-logika simbolis, dan pertanyaan-pertanyaan yang ada di buku ini cukup menarik, mayoritas berisi Proletariats dan Kolkhoz. Juga sering mengutip kata-kata dari Stalin.”

  Setelah mendengarkan isi buku ini tentang logika yang tersusun rapi, aku teringat Sakaguchi. Kurasa kemampuan menyusun percakapan verbal yang sistematis itu dikarenakan membaca isi buku ini.

  “...Buku ini adalah edisi pertama.”

  Shinokawa menjelaskannya sambil membuka halaman tentang keterangan penerbit. Akupun melihatnya, dan disitu tertulis kalau edisi pertama rilis 1 Juli 1955.

  “Sepertinya Sakaguchi-san ini tidak membeli buku ini dalam keadaan baru.”

  “Darimana kau tahu?”

  Shinokawa menunjukkan kepadaku slip tentang pemilik buku yang diisi oleh Sakaguchi di Toko Biblia, jari telunjuknya menunjuk ke kolom tanggal lahir. Masashi Sakaguchi lahir tahun 1950 – begitu ya. Dia pasti berusia 5 tahun ketika buku ini rilis. Ini bukanlah buku yang akan dibeli oleh anak TK.

  “Apa dia membelinya lewat toko buku bekas?”

  “Atau juga ada seseorang yang memberikan buku ini sebagai hadiah...ah!”

  Shinokawa tiba-tiba bersuara dengan cukup keras, dan menutup mulutnya secara tiba-tiba, sedang diriku ini cukup terkejut melihatnya. Sangat jarang sekali dia melakukan hal seperti ini.

  “...Ah, maaf.”

  Dia menatap ke halaman terakhir buku itu. Ada sebuah stempel, semacam label. Ada tulisan ‘Ijin Buku Pribadi’, dan beberapa kolom dengan kata ‘nama buku’, ‘nama pemilik’, ‘tanggal’, dan ‘nomor sel’. Perkenalan Logika ditulis dalam judul buku, dan ada nama Masashi Sakaguchi di tulisan peminjam. Entah mengapa, ada nomor 109 tertulis di atas namanya.

  Tanggal tertulis 21 Oktober tahun 47. Kurasa itu menandakan tahun Showa daripada tahun kalender barat. Karena pernah mengoreksi tahun semacam ini ketika kasus Koleksi Karya Soseki di bulan lalu, aku ingat betul cara menghitung tahunnya. Tahun 47 Showa artinya itu tahun 1972. Tahun ini adalah 2010, berarti stempel ini sudah menempel selama kurang lebih 40 tahun lalu.

  “Apa ini?”

  Ini tidak seperti kartu perpustakaan. Nama peminjam buku pribadi ditambah nomor sel ini merupakan istilah yang tidak familiar.

  “Shinokawa?”

  Aku memanggil namanya, dan dia akhirnya menjawabku.

  “...Aku sepertinya pernah beberapa kali melihat ini sejak mulai berkecimpung di dunia buku bekas.”

  Dia sepertinya agak kesulitan untuk menjelaskannya.

  “Buku di perpustakaan penjara yang bisa dipinjamkan biasanya disebut buku resmi penjara, sedang buku milik sendiri dinamakan ‘buku pribadi’...Jadi stempel ini merupakan ijin dari kepala penjara dan menandai buku ini sebagai buku milik Sakaguchi-san.”

  Diam-diam aku melihat ke arah stempel yang menunjukkan kalau buku ini milik pribadi. Setelah berpikir sejenak, aku akhirnya mengerti apa maksud Shinokawa. Ijin ini diberikan kepala penjara. Dan ini berarti...

  “Bukankah ini berarti pria itu pernah masuk penjara?”

  “...Sepertinya begitu. Nomor 109 ini mungkin nomor Sakaguchi-san di penjara.”

  “Bagaimana mungkin...”

  Dia memang terlihat eksentrik, tapi pria itu tidak tampak seperti mantan pelaku kriminal. Tapi, aku sendiri tidak pernah bertemu orang yang punya catatan kriminal.

  “...Apa kau ingin memeriksa data yang mengatakan dia pernah masuk penjara?”

  “Eh? Memangnya kita bisa?”

  “Karena kita memiliki petunjuk, mungkin kita bisa.”

  Shinokawa mengambil laptop yang berada di meja dan menyalakannya. Aku berharap akan melihat wallpaper imut di layar laptopnya, tapi yang muncul adalah gambar sebuah buku, yang membuatku sedikit kecewa. Buku itu bernama Belakangan Ini; dia memang suka sekali membaca, dan akupun terkesan, daripada merasa terkejut.

  “E-Erm, soal wallpapernya...Jangan dilihat ya...”

  Dia tiba-tiba terlihat malu-malu, dan membuka browsernya dengan sekali klik. Disamping laptop ini terdapat modem yang berbentuk flashdisc sehingga bisa mengakses internet di kamar pasien. Dia membuka situs sebuah perusahaan berita, dan memasukkan nama ‘Masashi Sakaguchi’ di kolom pencarian webnya.

  “Ah.”

  Aku tahu maksudnya. Jika Masashi Sakaguchi pernah berbuat kejahatan, dia akan muncul di koran. Aku tidak pernah berpikir untuk menggunakan metode semacam ini untuk menginvestigasi – aku mulai melihat halaman itu, dan mencari hasil pencariannya. Ada beberapa daftar laporan tentang itu, dan semuanya berhubungan dengan satu insiden. Tanggal 9 Januari 1971, setahun sebelum stempel ijin itu tertempel di buku.




  Perampokan Bank Hodogaya

  Telah terjadi perambokan di Bank Hodogaya cabang Kota Yokohama di pagi hari tanggal 8 Januari. Seorang pria masuk ke bank dan membawa senapan berburu, merampok 400,000Yen uang tunai, dan kabur menggunakan mobil yang sudah diparkir diluar. Polisi yang tiba di lokasi langsung mengejar pelaku, dan akhirnya tertangkap setelah mobilnya menabrak perumahan yang berjarak 1km dari bank. Tersangka adalah mantan karyawan bank yang tinggal di sekitar – Masashi Sakaguchi (20 tahun), dan sekarang dalam penanganan polisi.




  Aku tidak bisa mengatakan satupun kata-kata. Pria itu, yang terlihat seperti pekerja bank, ternyata pernah terlibat perampokan bank – sungguh sulit untuk dipercaya, tapi ini benar-benar fakta. Umurnya cocok dengan tanggal lahir di slip Toko Kami, dan ada lagi laporan tambahannya.




  Wajah dari Sakaguchi menderita luka-luka ketika menabrak rumah warga, dan saat ini sedang dirawat di rumah sakit. Polisi memastikan bahwa kecelakaan ini tidak akan menghalangi proses investigasi.




  Aku teringat bekas luka di dekat mata Sakaguchi. Itu pasti dari luka yang didapatnya dari kecelakaan itu.

  “Pria ini...Benarkah punya catatan kriminal seperti ini?”

  “...Ya.”

  Shinokawa mengangguk dengan serius.

  “Tapi setelah insiden itu, tidak ada data-data lagi tentang nama Sakaguchi di hasil pencarian...Itu berarti kalau perampokan itu adalah satu-satunya kejahatan yang dia lakukan. Saat ini, dia pasti berubah menjadi manusia yang baru.”

  Kupikir begitu, tapi aku sendiri agak khawatir jika ternyata dia belum berubah menjadi lebih baik. Karena, besok aku akan bertemu dengannya lagi...

  “Jadi apa yang harus kulakukan dengan buku ini?”

  “Ada baiknya jika kita membelinya seperti biasa. Tolong katakan kepadanya kalau buku ini bisa dia jual ke kita dengan harga 100Yen.”

  Ini tentunya kegiatan penilaian buku yang normal. Seperti katanya, tidak peduli siapa pelanggannya, kita berkomitmen untuk membeli buku bekas – tapi jika kita tidak melakukannya, maka ini akan terlihat sangat mencurigakan.

  “Tapi ada sesuatu yang mengganjal pikiranku.”

  Dia mengatakan itu sambil menutup laptopnya, dan menatap ke arahku.

  “Ada apa?”

  “Kenapa Sakaguchi-san ingin menjual bukunya, dan mengapa istrinya hendak mencegahnya menjual itu?”

  “Eh? Bukankah karena dia sendiri tidak membutuhkannya?”

  “Tapi buku ini sudah dia miliki sekitar 40 tahun, benar tidak? Dia berkata kalau berapapun harganya tidak masalah, jadi ini bukan perkara uang. Mustahil kalau dia beralasan menjualnya karena tidak ada tempat untuk menyimpan buku ini...Kenapa dia harus menjualnya?”

  Akupun menyilangkan lenganku. Memang benar, harusnya ada alasan tertentu yang membuatnya menjual buku yang telah lama dia simpan. Mungkin ini ada hubungannya dengan telpon dari istrinya tadi.

  Lalu, terdengar suara langkah kaki dari lorong yang ada di depan kamar ini. Ketika kami melihat asal suara itu, pintu terbuka. Seorang wanita yang mungil muncul.

  “Halo! Apa ini kamarnya si pemilik toko buku?”

  Suaranya seperti menggema di ruangan ini. Wanita ini memakai gaun one-piece berwarna merah, dan ujung rambut coklatnya terlihat bergelombang. Dia memakai bulu mata palsu, wajah yang bulat, dan terlihat seperti anak kecil, tapi masih terlihat kerutan di ujung mata dan bibirnya. Dia sepertinya berusia hampir 40 tahun, dan make up yang tebal terlihat menutupi wajahnya.

  Sarung tangan yang digunakan untuk menghalangi sinar matahari terlihat berbeda dan kontras dengan warna bajunya. Tanpa ragu, ketika kulihat tampilan yang seperti itu, dia mirip hostess yang hendak berangkat kerja.

  Dia menajamkan pandangan matanya dan melihat sekitar.

  “Banyak sekali buku-buku disini. Ini pertamakalinya aku melihat buku sebanyak ini. Apakah nona berkacamata yang cantik ini pemiliknya? Ini sudah masuk bulan September, tapi masih saja terasa panas. Aku berjalan kesini dari stasiun Ofuna; oh panasnya...Ah, maaf. Aku mulai berbicara kesana-kemari tanpa memperkenalkan diriku.”

  Aku langsung tahu siapa wanita ini tanpa memperkenalkan dirinya. Dia merendahkan kepalanya.

  “Aku istri dari Masashi Sakaguchi, Shinobu. Tolong kembalikan buku itu kepadaku!”

  Shinobu Sakaguchi tersenyum sambil menarik kursi bundar terdekat dan duduk. Tidak ada jeda dalam kata-katanya, dan dia terus mengoceh. Wajahnya tidak bisa dikatakan menarik, tapi ekspresinya terlihat ceria, dan terkesan orang yang mudah akrab.

  “Aku pergi ke toko yang di Kita-Kamakura sebelum kesini, dan gadis SMA yang menjaga toko itu berkata kalau orang yang tahu masalah ini sudah pergi ke rumah sakit, jadi aku naik bus kesini...Ah, ya Tuhan. Aku datang ke rumah sakit tanpa membawa oleh-oleh! Aku benar-benar minta maaf, nona pemilik toko.”

  Shinokawa terlihat malu-malu ketika namanya disebut.

  “I-Itu bukanlah apa-apa, tidak perlu membawa oleh...Erm, aku Shinokawa...Senang bertemu denganmu...”

  Dia membalasnya sambil membetulkan posisi duduknya, ternyata...Dia berusaha bersembunyi di belakangku. Karena Shinokawa adalah orang yang tidak tenang jika tidak membahas buku itu, maka aku pura-pura terbatuk.

  “Boleh kutanya, kenapa kau ingin kami mengembalikan buku itu?”

  “A-Apa kau ini Goura-san? Yang menerima telponku? Kau benar-benar tinggi, lebih tinggi dari Masa...Ah, tidak, lebih tinggi dari suamiku.”

  Kurasa ‘Masa’ adalah singkatan dari Masashi, suaminya. Untuk sementara ini, aku tidak ingin menyertakan sebutan aneh itu di percakapan kita.

  “Bukannya suami nyonya sendiri yang ingin menjual buku itu ke kami?”

  “Ya, tapi ada masalah! Dia tiba-tiba mengatakan kalau dia ingin menjual buku yang dia anggap sebagai harta paling berharganya, dan tidak memberitahuku alasannya. Aku sudah memberitahunya agar tidak menjualnya, tapi dia tidak mendengarkan...Kupikir aku harus kesini karena aku ingin buku itu kembali. Well, memang sih dia berkata ingin menjual buku ini dengan nada yang tegas, benar kan?”

  “Hmm?...Well, begitulah...”

  Topiknya tiba-tiba berubah, dan aku agak kesulitan untuk menangkap seluruh kata-katanya.

  “Tampaknya itu karena buku Perkenalan Logika itu. Dulu waktu muda, dia itu orangnya cukup konyol, dan ketika dia menekuni kegiatan di biara, guru SMA-nya memberinya buku ini, memberitahunya kalau dia bisa berbicara kepada orang lain dengan lebih baik jika membaca buku ini beberapa kali. Ini buku yang luar biasa karena bisa mengubah sifatnya.”

  Aku dan Shinokawa hanya bisa menatap satu sama lain – biara?

  “...Well, biara itu tentang apa?’

  “Ah, maaf. Suamiku dulu katanya pernah kabur dari rumahnya setelah berumur 20 tahun, dan sepertinya menghabiskan sekitar 5 tahun untuk mendalami ilmu di sebuah biara. Dia tidak berencana menjadi seorang biksu, tapi dia seperti merasa harus pergi kesana karena sesuatu.”

  Aku mencoba sebisaku agar tampak terkesan olehnya. Tampaknya wanita ini tidak tahu apapun soal kasus Sakaguchi di masa lalu, bahkan dia berbicara tentang pelatihan menjadi biksu.

  “Ngomong-ngomong, dia bilang kalau itu adalah tempat yang keras, temboknya sangat tinggi, saking tingginya hingga dia tidak bisa memanjatnya untuk keluar, dan dia hanya diperbolehkan menerima tamu dalam waktu yang singkat. Setelah menyelesaikan pelatihannya, dia terkejut dengan betapa banyak perubahan yang terjadi dengan dunia luar.”

  Bukankah itu sama saja dengan mengatakan tebakan kami ini benar? Aku hanya bisa mengatakan itu dalam hati. Bahkan setelah mengatakan ciri-ciri tempat itu, dia masih tidak sadar-sadar kalau tempat yang dia bicarakan itu adalah ciri-ciri penjara; dia sepertinya punya sifat yang sangat mempercayai orang lain.

  Bukan, bukan begitu. Dia benar-benar sangat mempercayai suaminya.

  “Ngomong-ngomong, kupikir lebih baik jika tidak menjualnya, atau aku mungkin akan menyesalinya...Erm, apa bukunya masih disini? Apa mungkin untuk memintanya kembali jika nona belum membelinya?”

  Shinobu menunjuk ke arah buku Perkenalan Logika yang ada di tangan Shinokawa. Dia seperti sudah siap untuk mengambilnya kapan saja, dan aku sendiri juga ragu apakah aku harus menghentikannya atau tidak.

  “Maaf, tapi aku tidak bisa memberikannya kepada anda.”

  Shinokawa mengatakannya dengan tegas, dan dia tidak lagi bersembunyi di belakangku, tapi menatap lurus ke Shinobu. Ini pasti sifatnya ketika dia membicarakan sebuah buku.

  Shinobu, yang mengetahui penolakan itu, matanya terlihat melebar.

  “Eh? Apa itu masalah? Kenapa tidak boleh?”

  “Suamimu adalah pemilik buku ini, dan suamimu berharap untuk menjual ini...Dan sebagai orang yang menjalankan bisnis buku bekas, aku tidak boleh menyepelekan permintaan pelangganku. Jika kau ingin menghentikan suamimu untuk menjualnya, maka tolong yakinkan dia untuk merubah pikirannya, bukan meyakinkan kami.”

  Shinokawa memegang buku itu dengan erat sambil menundukkan kepalanya. Shinobu seperti kehilangan semua tenaga dan antusiasmenya. Dia tiba-tiba hanya diam saja, tapi tidak lama kemudian dia tersenyum.

  “Hmm, itu ada benarnya...Seperti katamu, nona pemilik. Aku ini tidak bagus dalam berpikir, dan yang kukatakan tadi memang tidak masuk akal...Maaf.”

  Dia lalu mendesah dan menatap ke arah atap ruangan ini.

  “Tapi kenapa dia mau menjualnya? Aku merasa kalau ada yang janggal soal ini...Dia tidak pernah mengatakannya kepadaku, dan aku tidak yakin ada orang lain yang tahu mengapa dia menjualnya.”

  Itu memang sudah kuduga. Jika istrinya saja tidak tahu, mustahil orang lain ada yang tahu – tidak, kurasa akan ada seseorang yang tahu. Akupun menoleh ke arah Shinokawa; dia adalah orang yang bagus dalam memecahkan masalah.

  “...Anda punya hubungan yang sangat baik dengan suami anda.”

  Shinokawa mengatakan itu. Sambil malu-malu, Shinobu mengangguk mendengarnya.

  “Ya, benar sekali. Kami sudah menikah hampir 20 tahun, dan hubungan kami masih manis seperti dulu.”

  Tampaknya kalimat ‘manis’ terakhir itu membuatnya terlihat romantis. Shinokawa sepertinya terpengaruh oleh kalimat itu dan tersenyum.

  “Bagaimana anda bisa bertemu dengan suami anda dulunya?”

  Sudah kuduga kalau dia ingin mencari informasi yang lebih dalam. Shinobu membetulkan posisi duduknya dan menatap ke arah kami.

  “Akan memakan waktu yang cukup lama untuk menjelaskan ini. Apa tidak masalah?”

  Kami lalu mengangguk. Dia lalu mulai berbicara tanpa merasa ragu sedikitpun.

  “Aku pertamakali bertemu dengannya setelah lulus SMA...”

 








x  x  x








  Waktu itu aku bekerja sebagai hostess...Ah, kalau sekarang aku masih bekerja di bar, tapi sebagai karyawan biasa saja. Aku berpakaian seperti ini karena sebentar lagi akan pergi bekerja.

  Hubunganku dengan kedua orangtuaku tidaklah bisa dikatakan baik. Orangtuaku sangat pintar, dan lulus dari universitas ternama; sedang aku, tidak begitu bagus dalam belajar, jadi aku sering disebut bodoh sejak muda...Mungkin agak berbeda jika aku berniat belajar sungguh-sungguh, tapi aku benar-benar membencinya.

  Lalu, aku langsung pulang ke rumah setelah lulus SMA. Awalnya, aku sempat magang di sebuah perusahaan, tapi aku tidak paham satupun, dan merasa tidak berguna bagi mereka. Setengah tahun kemudian, aku dipecat.

  Lalu aku mencoba bekerja paruh waktu, tapi akhirnya sama saja...Aku pikir mungkin ada pekerjaan yang cocok denganku, jadi aku pergi ke kelab malam.

  Sangat jarang melihat kelab malam belakangan ini; jumlahnya lebih sedikit waktu aku masih muda dulu. Ada sebuah kelab malam tua dan terkenal yang berada di dekat pintu keluar stasiun Yokohama. Aku mencoba melamar kesana, dan diterima.

  Seperti yang kalian lihat, aku sekarang bisa bicara banyak, benar tidak? Waktu itu, aku lebih cerewet dari saat ini. Tapi, pekerjaan hostess itu adalah menemani pelanggan, jadi aku terus berbicara mengenai diriku...Para pelanggan semuanya orang dewasa; tapi siapa yang mau mendengar ocehan gadis yang baru lulus SMA? Aku benar-benar ingin bekerja keras, tapi terus saja dibully. Bossku berkata kalau dia akan memecatku jika terus begini. Tepat ketika aku mulai kehilangan kepercayaan diriku, ada seorang pria datang sendirian ke kelab malam.

  Waktu itu cuaca sangat panas, tapi dia memakai setelan jas, postur tubuhnya tegap. Dia tidak jauh berbeda dengan saat ini, dan waktu itu, dia mungkin bisa dikategorikan pria paruh baya...Tentunya, dia masih bujangan. Dia bilang kalau biasanya dia tidak mau datang ke bar dan ditemani wanita, tapi dia merasa sangat bosan dan ingin melakukannya untuk menghabiskan waktu.

  Pertama, kupikir dia adalah pria yang menakutkan. Dia tidak berbicara tentang dirinya sama sekali, dan cara bicaranya sangat tegas. Dia seperti ayahku, dan kupikir dia lulusan universitas ternama, dan bekerja di suatu bank. Sambil memikirkan itu, akupun mulai gugup...Kami tidak mengatakan apapun sampai 30 menit, dan yang dia lakukan hanyalah minum saja.

  Lalu, dia tiba-tiba berkata.

  ‘Aku ini tidak begitu bagus jika membicarakan diriku sendiri, tapi aku tidak keberatan jika mendengar kisahmu. Aku ingin mendengarmu bercerita tentang apa saja, apapun yang ingin kau katakan.'

  Pelanggan-pelanggan yang lain biasanya akan mengoceh sendiri, tapi ini pertamakalinya aku dengar ada orang mau mendengarkan kata-kataku. Aku agak terkejut; kalau dia memintanya, bukankah itu berarti aku yang akan bercerita? Ngomong-ngomong, aku mulai berbicara mengenai hal-hal yang bisa terpikirkan olehku, entah itu makan malam kemarin atau anjing yang kubesarkan ketika muda dulu.

  Aku mulai merasa santai, dan berbicara mengenai hal-hal yang membuatku kesal, seperti bagaimana situasiku saat ini yang terancam dipecat. Setelah itu, aku merasa ini seperti sebuah sesi konseling, dan aku mulai menangis ketika mengatakan tentang berbagai kesialan yang menimpa hidupku, bagaimana aku tidak bisa bekerja karena terlalu bodoh, dan tidak tahu kemana dan dimana aku akan hidup selanjutnya...Dia mendengarkanku dengan teliti, bahkan semua komplain-komplainku dia dengarkan.

  Kemudian, yang terjadi selanjutnya sangatlah penting! Setelah aku terus menggerutu, aku berkata, ‘seorang hostess bukanlah pekerjaan yang tepat bagi seorang idiot. Aku tidak cocok di pekerjaan ini karena aku sangat bodoh’.

  Pria itu mendengarkanku dari tadi, dan dia menaruh gelas minumannya di meja. Suara hentakan meja - gelas tersebut terderngar sangat keras sehingga mengejutkanku, kupikir dia marah atau semacamnya. Ternyata bukan itu, dan dia mengatakan sesuatu kepadaku dengan wajah yang serius.

  ‘Yang kau katakan adalah alasan-alasan induktif. Orang bodoh tidak akan mengatakan seperti itu...Kau jelas-jelas bukan orang bodoh.'

  Aneh, bukan? Meski dia mengatakan alasan yang masuk akal, aku tahu kalau sebenarnya dia hanya mencoba untuk menghiburku...Aku memang sedikit tergerak. Tidak ada yang pernah mencoba bersimpati kepadaku.

  Dan kemudian, pria itu menepuk pundakku dan berkata.

  ‘Kau jauh lebih pintar daripada diriku ketika seumuranmu...Buktinya kau menggunakan tanganmu sendiri untuk mendapatkan uang. Tidak peduli apa alasanmu dibully orang, kau tidak boleh merasa malu.’

  ...Ketika aku mendengar itu, aku merasa kalau itu adalah pertamakalinya bagiku ada orang bersimpati kepadaku. Tidak, atau lebih tepatnya, aku yang membiarkan dia melakukannya...Dan dia benar-benar melakukannya. Hanya itu saja, aku biarkan dia mendekatiku, dan akhirnya kita menikah. Kukuku, memang umur kami terpaut jauh, dia juga agak eksentrik, dan banyak sekali gosip miring tentangnya, tapi aku tidak peduli dengan kata orang. Puluhan tahun kita lewati dengan kehidupan yang bahagia. Dia memang terlihat menakutkan, benar tidak? Tapi dia benar-benar gentleman. Dia mungkin pernah melalui masa-masa sulit, dan aku kadang kasihan. Aku seperti kasihan kepada pria yang baik itu karena masih mau menikah dengan wanita sepertiku!









x  x  x









  Setelah itu, Shinobu membusungkan dadanya ketika menceritakan kebaikan-kebaikan suaminya itu.

  “Bagaimana? Dia benar-benar pria yang baik, bukan?”

  Kali ini, aku merasa kasihan, kasihan kepada Sakaguchi. Dia pasti merasa kesulitan untuk mengaku kepada istrinya, yang sangat mempercayainya, kalau dirinya dulu pernah terlibat tindakan kriminal, dan aku cukup paham mengapa dia harus membohongi istrinya dengan mengatakan ikut pelatihan di biara.

  “Apa ada yang aneh dari suamimu belakangan ini?”

  Tanya Shinokawa, dan Shinobu menunjukkan ekspresi khawatir.

  “Bulan lalu, dia agak aneh. Dia lebih pendiam dari biasanya, dia tidak tersenyum, dan tidak melihat ke arah mataku lagi...D-Dan juga, kacamata itu! Dia membelinya baru-baru ini. Kacamata itu terlihat murahan! Itulah bagian teranehnya!”

  Kurasa bagian teranehnya itu adalah hal yang paling tidak penting. Shinokawa menunjukkan sampul buku Perkenalan Logika kepadanya untuk dilihat.

  “Apa dia mengijinkanmu untuk membaca buku ini?”

  “Tidak.”

  Dia mencondongkan kepalanya.

  “Dia menganggap itu sebagai buku kesayangannya, dan aku tidak tahu kenapa bisa begitu meski aku mencoba membacanya...Ah, tapi ketika aku membersihkan rumah, aku tidak sengaja membuat halaman buku itu sedikit terbuka. Buku itu dia simpan di lemari peralatan makan, dan buku itu berdebu. Aku mengambilnya dan tidak sengaja halamannya terlihat.”

  Dengan kata lain, dia membuka buku itu. Tampaknya ini jelas sekali, bahkan wajah Shinokawa mengatakan begitu – wajah yang sama ketika dia menemukan kebenaran dari Koleksi Karya Soseki.

  “...Apa suamimu ada di rumah waktu itu terjadi?”

  “Sepertinya begitu...Ah, well, mungkin. Dia kusuruh ke lorong dulu ketika aku hendak membersihkan ruangan itu, dan dia memilih untuk mendengarkan radio di beranda rumah. Belakangan ini, dia memang suka mendengarkan radio...”

  “Begitu ya..”

  Shinokawa menggumamkan itu. Kurasa aku juga tahu kebenarannya – stempel ijin untuk membawa buku pribadi ke sel dari kepala penjara yang ada di belakang buku itu sudah cukup untuk membuktikan kalau Masashi Sakaguchi pernah berbuat kriminal. Kalau diketahui, mungkin bisa menyebabkan pernikahannya hancur. Dia pasti berpikir seperti itu, dan dia memutuskan untuk menyingkirkan buku itu secepatnya.

  “Kalau begitu, bolehkah kupinjam sebentar bukunya? Aku ingin melihat-lihat buku itu.”

  Kata-kata dari Shinobu membuatku membuka lebar-lebar kedua mataku, dan Shinokawa mulai terlihat gugup.

  “Ah, aku tidak hendak membawanya pulang. Aku hanya ingin tahu ada apa dengan buku ini. Kalau dipikir-pikir, aku belum pernah membacanya. Hei, mengintip sedikit boleh kan?”

  Dia tersenyum dan menjulurkan tangannya ke arah kami. Aku langsung memotongnya.

  “Well, mungkin ada sesuatu yang suamimu sendiri tidak ingin orang lain tahu soal buku ini...”

  “Goura-san!”

  Shinokawa mengingatkanku, membuatku terdiam. Tidak bagus, aku hampir saja mengatakan sesuatu yang tidak perlu – tapi Shinokawa mencondongkan kepalanya.

  “...Bukan, bukan itu maksudku.”

  “Eh?”

  Apa aku salah? Apa yang kukatakan itu salah?

  Ketika menjalani hukuman penjara, Sakaguchi memiliki buku Perkenalan Logika, dan Kepala Penjara memberi stempel properti kepemilikan untuk membedakan itu buku milik Sakaguchi dengan buku koleksi perpustakaan penjara. Istrinya tidak sengaja membuka buku itu belakangan ini, dan dia datang ke toko kami untuk menjual bukunya – dengan kata lain, dia melakukan ini untuk menyembunyikan fakta kalau dia adalah pelaku kriminal di masa lalu. Memangnya ada alasan lain?

  “Ada apa? Ada masalah?”

  Shinobu melihat ekspresi kami yang membisu, dan akhirnya menatap ke arah buku Perkenalan Logika.

  “Apa ada sesuatu dengan buku ini?”

  Shinokawa tidak menjawabnya. Kamar pasien ini sangat sunyi – aku mulai menyesal karena terburu-buru menjawabnya. Kalau kubiarkan dia melihat buku ini, mungkin dia akan memaklumi sikap kami karena ada stempel dari penjara itu. Tapi, kami terlihat lebih mencurigakan lagi jika tidak mengijinkannya untuk melihat bukunya. Kami seperti kehabisan opsi.

  Lalu, ada yang mengetuk pintu. Akupun bernapas lega.

  “...Silakan masuk.”

  Shinokawa menjawab, dan pintu kamar ini terbuka. Seorang pria yang tinggi memakai setelan jas dan kacamata. Dia terlihat buru-buru masuk ke dalam ruangan.

  “Ah, Masa!”

  Shinobu melambai-lambaikan tangannya dengan gembira.

  Orang yang masuk ke ruangan ini adalah Masashi Sakaguchi.









x  x  x









  “Silakan duduk.”

  Shinobu Sakaguchi menarik kursi bundar terdekat dan duduk di sebelah istrinya. Mereka tampak serasi jika duduk bersama, terlihat seperti seorang putri yang sudah lama tidak pulang dan bertemu ayahnya...Daripada sepasang suami-istri.

  “Sayang, kenapa kau kesini?”

  “Ada perubahan rencana mengenai besok. Akupun menelpon Toko Biblia, dan kudengar kau mampir kesana dan sekarang ada di rumah sakit, jadi aku datang kesini.”

  Sakaguchi menggumamkan itu, dan menambahkan sesuatu.

  “Kalau bisa, jangan panggil aku ‘Masa’ di depan orang luar. Bukankah sudah kuberitahu?”

  “Ah, maaf. Erm, Masa...shi! Jangan jual buku itu!”

  Tiba-tiba dia langsung saja to the point ke pangkal masalah kasus ini, dan Masashi tiba-tiba terdiam sejenak.

  “Maaf, aku sudah memutuskannya sejak lama. Aku putuskan untuk menjualnya karena aku merasa tidak membutuhkannya lagi.”

  “Kenapa kau katakan kalau kau tidak membutuhkannya!? Bukannya kau selalu menganggap buku itu adalah barang berharga milikmu?”

  Shinobu mengatakan itu sambil menunjuk ke buku Perkenalan Logika.

  “Bukankah buku itu yang mengubahmu menjadi pria yang mempesona di mataku?! Bukankah buku itu menjelaskan teori silogisme kepadamu? Jadi buku itu secara tidak langsung berpengaruh terhadap hidupku!”

  “...Aku tidak tahu harus berkata apa.”

  “Itu sama seperti aku mulai terpesona olehmu! Bukankah kau dulu menciumku setelah kau menembakku!?”

  Sakaguchi menatap kami berdua. Ekspresinya tidak berubah, tapi mulai terlihat banyak sekali keringat di lehernya. Aku sungguh kasihan dengannya; dulu ada kata-kata bijak dari seorang wanita, ‘bahkan rahasia sekecil apapun menjadi penting untuk dibuka dalam hubungan pernikahan’.

  “Setidaknya beritahu aku kenapa kau ingin menjualnya. Kau belakangan ini bersikap sangat aneh. Kau tidak banyak bicara, tidak tampak bersemangat, dan kau memakai kacamata itu! Ngomong-ngomong, tampilanmu seperti orang aneh!”

  Wanita ini memaksa sekali soal kacamata itu. Mendengarkan kata-katanya, Sakaguchi memalingkan wajahnya. Kenapa begitu? Apa karena kacamata itu?

  “...Sakaguchi-san.”

  Shinokawa mengatakan itu dengan perlahan.

  “Orang-orang terdekatmu lambat laun akan tahu soal ini. Ini bukanlah sesuatu yang bisa kau sembunyikan...Ini adalah sesuatu yang berbeda dengan itu.”

  Dia mengatakan itu dengan menekan akhir kalimatnya. Ini agak aneh; dia jelas-jelas memberitahu kalau ada rahasia lain selain dirinya mantan narapidana. Kupikir dia hendak mengatakan ‘Bukan soal rahasia itu’ – tapi kira-kira apa yang orang-orang terdekatnya akan tahu soal dirinya?

  “Hmm...”

  Wajah Sakaguchi menjadi pucaat. Tampaknya dia sadar kalau Shinokawa sedang membicarakan catatan kriminalnya. Kedua matanya menatapnya dengan tajam.

  “Tampaknya kau tahu semuanya.”

  Aku hampir menaikkan tanganku – tidak, aku tidak paham. Memangnya ada rahasia lain selain insiden perampokan 40 tahun lalu? Bagaimana Shinokawa tahu? Aku harusnya menyadari itu.

  “Aku paham kalau kau ini tidak begitu bagus dalam menceritakan dirimu sendiri.”

  Shinobu mengatakan itu.

  “Tapi jika ada masalah, tolong beritahu aku.”

  Sakaguchi melepaskan kacamatanya. Dia menatap sejenak wajah istrinya itu, dan setelah itu, dia berbicara dengan pelan.

  “...Bahkan dari atas, aku tidak bisa melihat wajahmu dengan jelas. Aku tidak tahu apakah kedua matamu sedang tertutup atau terbuka.”

  “Eh...”

  Istrinya tiba-tiba terkejut.

  “Mataku ada sedikit gangguan. Karena mataku ada masalah ketika muda dulu, membuatku menderita penyakit yang sulit disembuhkan. Gangguan penglihatan ini semakin memburuk...Aku menjual buku itu karena aku tidak bisa membaca buku lagi.”

  Kesunyian kembali melanda ruangan ini. Sakaguchi lalu menatap kami.

  “Kau tahu dari mana? Aku ingin merahasiakannya.”

  Aku ingin tahu juga – apakah memang ada petunjuk yang mengarah ke situ? Akupun melihat ke arah Shinokawa.

  “...Petunjuknya adalah slip yang kau tulis di Toko Biblia ini.”

  Dia mengeluarkan slip dari buku itu. Sakaguchi mendekat untuk melihatnya.

  “Ini tulisanmu di toko kami, Sakaguchi-san. Huruf-hurufnya banyak yang keluar dari kotak kolom...Ini hal yang aneh bagi seseorang yang punya sifat cermat.”

  “...Ternyata aku menulis keluar dari kotak secara tidak sadar.”

  Sakaguchi menggumamkan itu.

  “Aku sendiri tidak begitu jelas apa yang kutulis...Kau bisa menyimpulkan itu dari itu saja?”

  “Tidak. Aku dapat info lagi dari cerita istrimu tentang aktivitasmu belakangan ini. Kau mulai mendengarkan radio karena kau kesulitan membaca koran, kau memakai kacamata untuk melindungi matamu dari cahaya matahari, dan buku paling berhargamu terlihat berdebu...Itu karena penglihatanmu memburuk.”

  Aku seperti orang bodoh saja. Karena dia menjelaskan itu, kurasa itu memang masuk akal.

  Shinokawa ini, tidak pernah mengobrol dengan Sakaguchi sebelumnya. Dia bahkan tahu kalau dia menyembunyikan sesuatu dari istrinya hanya dari info-info; dia benar-benar punya rasa ingin tahu yang besar.

  “...Tapi mengapa kau tidak memberitahu istrimu?”

  Aku bertanya ke Sakaguchi. Biasanya, dia akan memberitahu orang terdekatnya soal itu. Tapi, Sakaguchi merendahkan tatapan matanya.

  “Penglihatanku memang mulai memburuk, dan mulai saat ini, aku mungkin mengandalkan bantuan orang lain. Aku hampir pensiun dari perusahaanku, dan akan sulit sekali mencari pekerjaan. Kami berdua mungkin selama ini hidup dengan sulit...Dan dia sudah menderita banyak dari menikahiku yang berusia jauh di atasnya. Aku ingin menenangkan pikiranku sebelum mengatakan ini.”

  Sakaguchi menatapku. Untuk pertamakalinya, aku menyadari kalau dirinya tidak bisa melihatku dengan baik, dia tidak bisa melihat posisiku dengan jelas.

  “Memang benar kalau ada beberapa hal yang sulit dijelaskan ke keluargamu. Mungkin banyak orang yang berpikir demikian, tapi aku bukan salah satu dari mereka.”

  Aku tahu yang dia maksud adalah catatan kriminalnya. Sakaguchi adalah seseorang yang hidup dengan menyimpan rahasia yang besar. Mungkin sikapnya yang bersikap jujur itu seperti menentang apa yang dia perjuangkan selama ini.

  “Maaf sudah menyembunyikannya darimu selama ini.”

  Dia merendahkan kepalanya di depan istrinya. Shinobu menyilangkan lengannya. Ekspresi kurang senang ini tidak cocok dengannya, mungkin karena dia terlihat kekanakan. Tidak lama kemudian, dia berkata.

  “Aku tidak paham, Masa.”

  Dia menyebut Sakaguchi dengan nama itu lagi, dan kali ini, dia tidak komplain dengan itu.

  “...Memangnya bagian mana yang tidak kau mengerti?”

  “Kenapa kau ingin menjual buku itu?”

  “Bukankah sudah kubilang? Aku tidak bisa membacanya lagi. Buku itu ada untuk dibaca, dan kuharap buku ini bisa kuberikan ke seseorang daripada kubuang...”

  “Kenapa kau tidak memintaku yang membacanya untukmu?”

  Dia mengatakan itu begitu saja, dan melanjutkannya kata-katanya di depan Sakaguchi yang masih terkejut.

  “Ini kan buku yang paling berharga untukmu, benar, Masa? Aku akan membacakannya untukmu setiap hari. Aku belum pernah membaca buku seperti ini, jadi mungkin caraku membaca akan terkesan buruk. Hei, bukankah itu sudah cukup bagus?”

  Dia mengatakan itu sambil menggerutu.

  “Tidak masalah kalau kau kesulitan untuk mengatakannya. Tidak peduli kau bisa melihat atau tidak, Masa, aku akan selalu bersamamu...Kalau begitu, jika ada hal lain yang ingin kau katakan kepadaku, aku bisa mendengarkannya...Aku jelas akan lebih bahagia.”

  Sakaguchi yang diam seperti patung, kemudian tersenyum.

  “...Aku paham. Terima kasih.”

  Dia lalu berdiri, dan mendekati kasur Shinokawa.

  “Maaf nona, kurasa aku tidak ingin menjual buku ini. Bolehkan kuminta nona untuk mengembalikan buku itu kepadaku?”

  Shinokawa mengangguk, dan memberikan buku itu ke Sakaguchi.

  “Tentu. Silakan anda miliki kembali.”

  Dengan buku di tangannya, Sakaguchi menoleh ke istrinya.

  “Apa kau masih punya waktu sebelum jam kerjamu dimulai? Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu di suatu tempat.”

  “Kurasa bisa.”

  Shinobu mengatakan itu sambil berdiri. Kurasa aku bisa bernapas lega, setidaknya insiden ini terselesaikan tanpa memberitahu kalau Sakaguchi punya catatan kriminal. Tanpa ragu kupikir Shinokawa berniat untuk membiarkan mereka membicarakan masalah itu secara pribadi setelah menjelaskan apa yang terjadi dengan penglihatan Sakaguchi.

  Entah kapan itu akan terungkap, mungkin Sakaguchi akan mempertimb-

  “...Sebenarnya, aku juga ingin mengatakan sesuatu.”

  Sakaguchi tiba-tiba berkata. Aku masih diselimuti perasaan lega, dan istrinya menatap Sakaguchi dengan penasaran.

  “Ada apa?”

  “Aku dulu pernah masuk penjara.”

  “Eh?”

  “Eh?”

  Malah Shinokawa dan diriku yang mengatakan itu, sedang Shinobu hanya diam saja. Dia berhasil menyembunyikan catatan kriminalnya, kenapa dia harus mengatakannya?

  “Aku bohong ketika aku bilang aku dulu pernah berlatih untuk menjadi biksu. Waktu usiaku 20, aku dipecat dari pekerjaanku, dan aku tidak punya uang sama sekali...Kupikir jika aku punya uang banyak, maka aku tidak perlu khawatir dengan hidupku. Aku mencuri mobil dan senapan berburu dari rumah temanku dan merampok bank terdekat. Dan tentunya, aku ditahan tidak lama kemudian.”

  Dia menjelaskan itu seperti penyiar berita saja. Shinobu membuka mulutnya lebar-lebar seperti terkejut dan menatap terus ke arah wajah suaminya. Sakaguchi menunjuk ke bekas luka yang ada di dekat matanya.

  “Luka ini disebabkan kecelakaan di kejadian itu...Aku meminta maaf karena menyembunyikan masalah ini darimu hingga saat ini.”

  Sakaguchi merendahkan kepalanya. Aku tidak tahu ekspresinya seperti apa, tapi punggungnya seperti bergetar. Tanpa sadar, kepalan tanganku mulai berkeringat karena adegan ini; ini adalah pengakuan terberat yang dia buat dalam 20 tahun terakhir.

  Istrinya menarik napas yang dalam dan melihat wajahnya. Dialah yang memecah kesunyian ini.

  “Serius, kenapa kau begitu serius...Apa kau memikirkan sesuatu?”

  Dia lalu merangkul lengan suaminya.

  “Aku sudah tahu itu sejak dulu.”

  “Eh?”

  “Eh?”

  Baik Shinokawa dan diriku mengatakan hal yang sama. Kali ini, kamilah yang terkejut oleh sikap keduanya.

  “Kau tahu...?”

  Sakaguchi bertanya itu ke Shinobu.

  “Ya. Semua orang yang tidak idiot pasti tahu itu.”

  Dia tersenyum ke suaminya.

  “Aku bukanlah idiot, benar tidak? Oleh karena itu aku sudah tahu itu...Ah, apa ini silogisme?”

  “Ah, ya...Itu benar.”

  Keduanya menoleh ke arah kami, dan mengangguk, lalu mereka berjalan keluar dari kamar ini sambil berpegangan tangan.

  “...Aku bersyukur sudah menikah denganmu.”

  Sakaguchi menggumamkan itu, dan dia menutup pintu kamar ini.

 









x  x  x









  Ruangan ini terlihat luas sekali setelah kepergian pasangan Sakaguchi, sepertinya angin ribut sudah pergi dari ruangan ini.

  “...Dia tahu itu sejak kapan?”

  Tanyaku. Mungkin dia tahu setelah mereka tinggal bersama, atau mungkin kebetulan.

  “Tidak, sebenarnya dia tidak tahu.”

  “Eh, bukankah dia barusan bilang sudah tahu?”

  “Jika dia benar-benar tahu, dia tidak akan menceritakan masa lalu suaminya dengan begitu ceria seperti tadi. Dia harusnya bercerita dengan hati-hati agar kita tidak tahu mengenai rahasia suaminya.”

  Aku teringat kata-kata Shinobu. Memang benar jika dia tahu kalau suaminya itu mantan narapidana, dia tidak akan berbicara tentang pelatihan biksu itu dengan mudahnya.

  “Tapi kenapa dia berbohong...”

  “Jika dia bilang tidak tahu, maka itu akan membuat suaminya menjadi lebih tertekan, pria yang yang sudah bersamanya selama 20 tahun. Itu sendiri sebuah fakta, tapi Sakaguchi-san sendiri juga punya masalah lain; dia tidak tahu harus bilang apa ke istrinya soal gangguan penglihatannya. Istrinya tidak ingin melihat Sakaguchi-san merasa bersalah lagi...Kupikir itulah alasannya. Tidak ada alasan lain untuk menjelaskan itu.”

  “Ah...”

  Akupun mengatakan kekagumanku. Jika itu benar, dia tidak terbawa suasana oleh masa lalu memalukan suaminya, dan bahkan mau berbohong sambil tersenyum. Seperti kata Sakaguchi, dia bukanlah orang bodoh.

  “Aku merasa Sakaguchi-san tahu kalau istrinya berbohong. Secara logika, kata-kata istrinya tidak cocok...Tapi tidak ada gunanya membahas itu. Dia merasa kalau itulah cara terbaik untuk menghargai kebaikan istrinya.”

  Aku selalu begini, terpesona oleh Shinokawa. Aku merasa kalau dia akan bisa memecahkan segala misteri selama itu berkaitan dengan buku.

  Akupun menatap wajah Shinokawa. Dia selalu membicarakan banyak buku dalam tiga minggu terakhir, tapi aku tidak tahu banyak soal sifatnya yang lain. Yang kutahu hanyalah dia suka buku-buku tua, dan suka membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan itu. Kurasa dia ini mirip Sakaguchi, kesulitan untuk menceritakan dirinya sendiri.

  Kurasa itu tidak masalah. Sampai saat ini, aku cukup bahagia.

  “Kalau begitu, aku akan kembali ke toko.”

  Aku meninggalkan adik Shinokawa untuk menjaga toko untukku. Mungkin ketika aku kembali dia akan marah kepadaku karena lama sekali tidak kembali ke toko.

  Akupun membalikkan badanku. Tiba-tiba jari-jari Shinokawa menarik kemejaku, dan dia terlihat menatapku dan hendak mengatakan sesuatu.

  “...Ada apa?”

  Tiba-tiba, aku merasa suhu tubuhku mendadak panas. Ini adalah kejadian pertamaku. Akupun duduk di kursiku kembali.

  “Seandainya, aku seperti Sakaguchi-san yang menyembunyikan sesuatu, apa yang akan kau lakukan?”

  “Eh...?”

  “Apa kau mau mendengarkan kebenarannya?”

  Tampaknya dia bisa membaca apa yang kupikirkan tadi. Akupun ragu. Apa yang sedang terjadi?

  “...Aku ingin mendengarnya.”

  Pikiranku kacau, tapi aku menjawabnya dengan tenang. Dia memeriksa apakah pintunya tertutup atau tidak, dan kemudian mulai berbicara.

  “Goura-san, kau bertanya kepadaku sebelumnya...Kenapa aku bisa cedera.”

  “Ah, benar...”

  “Dua bulan lalu, aku mengunjungi rumah teman ayahku. Rumahnya ada di perbukitan, dan aku terpeleset dalam perjalananku di jalan setapak ke rumahnya...Waktu itu hujan lebat...Jadi aku bilang kepada orang-orang selama ini kalau aku terpeleset.”

  “...Tapi apa yang sebenarnya terjadi?”

  Dia mengangguk. Tanpa sadar, posisi kita sangat berdekatan sehingga kening kita hampir bersentuhan.

  “Aku tidak pernah menceritakan ini ke siapapun...Apakah tidak masalah jika kuceritakan kepadamu, Goura-san?”

  “...Ya.”

  Jawabku. Jantungku berdetak kencang; entah mengapa, aku seperti akan mendengar sesuatu yang menyeramkan.

  “Ada yang mendorongku hingga terjatuh dari jalan menanjak itu. Aku sudah 2 bulan ini mencari siapa pelakunya.”

  Shinokawa menatapku, kedua matanya seperti dipenuhi keinginan yang kuat – ekspresi seperti itu adalah ekspresinya ketika dia memecahkan sebuah misteri.

 
 

 

 
 x Chapter III | END x






  Saya jamin masih banyak yang tidak bisa menghubungkan semua petunjuk dan menjadikan sebuah kesimpulan yang jelas dalam kasus ini. Pertama, alasan yang benar Sakaguchi menjual buku itu ke Biblia karena dia sudah tidak bisa membaca lagi, dan dia sendiri tahu istrinya tidak membaca buku. Penglihatan Sakaguchi mulai menurun. Alasan karena 'takut istrinya tahu soal dirinya mantan narapidana' bukanlah alasan yang valid dan mudah dibantah oleh berbagai fakta.
  1. Fakta paling mudah, Sakaguchi adalah karyawan perusahaan yang masuk reguler (pagi-sore). Sedang Shinobu karyawan bar yang masuk malam. Buku itu Sakaguchi simpan di rumah. Shinobu ada di rumah ketika siang, sedang Sakaguchi harus kerja di perusahaan. Artinya, selama 20 tahun Sakaguchi tahu kalau setiap harinya akan selalu ada resiko bukunya terbaca secara tidak sengaja oleh Shinobu. Apa Sakaguchi sebodoh itu membiarkan bom waktu tersimpan di rumahnya selama 20 tahun? Kecuali, Sakaguchi tidak mempermasalahkan jika suatu hari nanti istrinya tahu kalau dirinya mantan napi. Satu-satunya alasan Sakaguchi terus menyimpan buku itu di rumah karena dia masih sering membacanya.
  2. Seperti kata Shinokawa, buku Perkenalan Logika paling mahal 500Yen di pasaran. Jika memang selama ini hendak menghindari istrinya tahu soal perampokan itu, Sakaguchi tinggal membuang buku itu dan membeli buku sejenis di toko buku bekas. Dengan kata lain, Sakaguchi memang berniat memberitahu soal perampokan itu dan tidak berniat menyembunyikannya.
  3. Masalah menyembunyikan fakta mantan napi tidak ada hubungannya dengan salah satu sikap anehnya belakangan ini, yaitu memakai kacamata. Jika untuk menyembunyikan bekas luka, itu alasan terbodoh yang pernah saya dengar. Bekas luka itu sudah ada sejak 40 tahun lalu, dan sejak 20 tahun lalu Sakaguchi menikah dengan Shinobu. Sakaguchi baru memakai kacamata bulan lalu. Artinya Shinobu sudah tahu soal bekas luka itu sejak lama. Alasan tidak valid.

  Alasan Shinokawa kalau Sakaguchi menjual buku itu karena sudah kesulitan untuk membaca, cocok dengan semua fakta.







  

1 komentar:

  1. Arrghh... Manis banget, saling memahami tanpa perlu kata-kata.

    BalasHapus