Minggu, 18 September 2016

[ TRANSLATE ] Biblia Vol 2 Chapter 1 : Burgess, Anthony. A Clockwork Orange. Hayakawa Paperback NV -1


x x x







  Aku benar-benar tidak tahu apapun soal buku. Ini adalah sesuatu yang aku sendiri sadari dengan baik. Bukan juga sesuatu yang aku sendiri banggakan. Tapi jujur saja, begitulah kondisiku saat ini.

  Cerita ini bermula ketika sebuah fax tiba tepat ketika hari mulai beranjak sore. Si Pemilik Toko, Shinokawa, sedang pergi ke rumah untuk makan siang, dan aku ditinggal sendirian olehnya di toko ini.

  Kumanfaatkan datangnya fax itu untuk beristirahat sejenak dari menempelkan harga-harga terbaru bagi buku diskonan yang berada di trolly. Ketika mesin fax tersebut memunculkan pesannya, akupun mendatangi mesin itu.



  Aku sedang mencari buku tulisan Kunieda Shirou, satu set koleksi lengkap dari bukunya yang berjudul Ivy Wood Crosspiece, dicetak oleh Tougen Publishing. Nanti akan kutelepon untuk menanyakan kabar buku tersebut.



  Sepertinya, itu adalah permintaan tentang koleksi buku dari toko ini. Memang, selama ini kita menerima fax ataupun telepon dari pelanggan yang mencari buku-buku tertentu. Meski akan terasa sangat efisien jika mencarinya lewat katalog buku ataupun website toko ini, banyak pelanggan-pelanggan tua yang tidak menggunakan telepon ataupun komputer.

  Kulihat kertas fax itu lagi, lalu kudekatkan wajahku untuk membacanya sekali lagi. Tulisan tangan yang tidak jelas dan tidak teratur ini bukanlah satu-satunya alasan aku kesulitan untuk membaca fax ini.

  Tougen adalah nama perusahaan penerbitannya, dan Kunieda Shirou adalah nama penulisnya. Sedang judulnya sendiri, benar-benar misterius bagiku.

  “Satu set lengkap...Ivy...Crosspiece...?”

  Aku tidak paham. Judulnya terdengar tidak masuk akal, tidak peduli bagaimana caraku mengejanya. Kutatap pintu yang menuju ke arah rumah Si Pemilik Toko. Shinokawa pasti tahu apa maksudnya jika aku bertanya kepadanya.

  Telepon toko tiba-tiba berbunyi ketika aku menaruh tanganku di gagang pintu. Sambil memegang kertas fax tersebut, aku mengangkat telepon itu dengan tanganku yang satunya.

  “Terima kasih sudah menelepon Toko Buku Antik Biblia, anda sedang berbicara deng – “

  “ – Soal fax yang kukirimkan beberapa saat lalu.”

  Suara dari seorang laki-laki di telepon langsung memotongku. Suaranya yang ramah tersebut memiliki logat Kansai. Dia bilang beberapa saat lalu, tapi ini belum satu menit sejak fax itu tiba.

  “Apa kalian memilikinya? Koleksi buku tulisan Kunieda Shirou.”

  Dia terus menekanku, seolah-olah sedang terburu-buru untuk mendapatkan jawabannya.

  Aku akan sangat senang jika dia memberikan keterangan-keterangan yang lebih detail tentang buku itu, tapi tampaknya dia ini tidak punya rencana lain selain menunggu jawabanku.

  “Saya akan memeriksanya dulu. Apa anda tidak keberatan untuk menunggu sebentar?”

  Kuhentikan jariku ketika hendak menekan tombol Hold di telepon. Aku memang bilang kalau akan memeriksanya dahulu, tapi bagaimana aku bisa mencarinya jika aku tidak tahu jenis buku apa yang dia inginkan?

  “Err...Apakah buku ini...Novel?”

  “Tentu sajalah. Masa kau tidak tahu?”

  Akupun mulai menelan ludahku, dan rasa gugup ini mulai menyelimuti tubuhku. Aku tidak boleh berbohong kepadanya.

  “Saya memang tidak tahu soal itu. Mohon maaf.”

  Lalu kudengar suara-suara kecil di ujung telepon. Entah apa dia terkejut mendengar responku, ataukah dia sedang berusaha menahan tawanya.

  “Apa cuma ada kamu di toko pada saat ini?”

  “Benar sekali.”

  “Ah, begitu ya. Kau ini masih amatir ya, benar tidak?”

  Dia tiba-tiba menutup teleponnya, membiarkan teleponku menggantung begitu saja. Tanpa kusadari, punggungku mulai berkeringat dingin.

  Pelanggan yang benar-benar marah tidak akan mau menerima permintaan maaf. Jangan pernah lupakan itu.

  Nasehat dari almarhumah Nenekku muncul secara tiba-tiba di pikiranku. Itu adalah sebuah nasehat dari orang yang menjalankan usaha restoran selama berpuluh-puluh tahun di Ofune, tapi benar-benar menjadi nasehat yang sempurna dalam situasi ini.

  Aku telah membuat seorang pelanggan marah. Karyawan toko buku yang macam apa, menanyakan hal-hal semacam itu kepada pelanggannya?

  “Apa terjadi sesuatu?”

  Seorang wanita berambut hitam dan panjang tibat-tiba muncul di sebelahku, melihat ekspresi wajahku dari balik kacamatanya. Dia adalah Si Pemilik Toko, Shinokawa. Aku tidak sadar kalau dia sudah kembali dari rumah.

  “Apa ada telepon dari seseorang?”

  “Ya, dia menanyakan tentang koleksi buku kita. Dia mengirim fax terlebih dahulu sebelum menelpon, tapi...”

  Memberitahunya mengenai apa yang terjadi benar-benar membuat hatiku menjadi berat, tapi aku memberinya kertas fax tersebut. Ekspresinya tiba-tiba berubah menjadi antusias.

  “Oh, ini buku ini sebenarnya memiliki judul asli ‘Jembatan Ivy di Kiso’. Dicetak oleh Tougen Publishing.”

  “I-Ivy...?”

  “Itu adalah nama jembatan gantung di Kiso. Ceritanya sendiri memang sangat menarik. Itu adalah novel legenda yang terbit di jaman Taisho, bercerita tentang dua orang bersaudara yang melakukan perjalanan untuk membalas dendam kepada Tuan Tanah di Kiso yang telah membunuh kedua orangtua mereka. Aku pernah membacanya ketika muda dulu...Ngomong-ngomong, karakter utamanya...”

  “Tu-Tunggu dulu.”

  Akupun menyadarkan diriku sebelum tersedot oleh ceritanya itu. Jujur saja, aku benar-benar ingin mendengar cerita itu, tapi memberitahunya tentang apa yang terjadi barusan adalah hal prioritas untuk saat ini.

  “Sebenarnya, pesanannya itu sudah dia batalkan. Itu karena salahku, aku melakukan sesuatu yang salah ketika berbicara dengan pelanggan.”

  Akupun menjelaskannya secara singkat, dan tidak mencari-cari alasan pembenaran. Dia mendengarkan hingga akhir, dan menganggukkan kepalanya, lalu dia dia bersandar di kruk yang ada di tangan kanannya. Lalu, dia menatap kembali kertas fax yang berada di tangannya.

  “Dan nomor pengirim di fax itu juga tidak ditampilkan...”

  Dia mengatakan itu dengan ekspresi agak menyesal. Sederhananya, kita tidak bisa menelpon orang itu kembali hanya untuk sekedar meminta maaf. Kejadian ini memang sungguh disayangkan, karena kita memang memiliki buku itu disini.

  “Maafkan aku.”

  Kurendahkan kepalaku untuk meminta maaf.

  Rasa penyesalanku ini pasti terlihat jelas di wajahku, karena dia tiba-tiba menepuk kedua tangannya dan berusaha untuk memberiku semangat.

  “Ti-Tidak apa-apa...Begini, kau kan baru bekerja disini, jadi tidak masalah jika kau tidak tahu tentang semuanya. Kau mungkin merasa tidak berguna untuk saat ini, tapi pengalaman-pengalaman itu akan membuatmu lebih baik ke depannya.”

  “....”

  Aku tahu, aku ini benar-benar tidak berguna. Mendengar itu secara langsung malah membuatku bertambah depresi saja.

  Aku – amatir yang tidak berguna, Daisuke Goura – mulai bekerja disini ketika Shinokawa sedang dirawat di rumah sakit karena cedera kaki. Aku, berkenalan dengannya karena meminta bantuannya untuk memberikan penilaian tentang Koleksi Lengkap Souseki yang diwariskan oleh Nenekku.

  Selain pengetahuannya tentang buku-buku, Shinokawa juga punya kemampuan spesial. Dia bisa memecahkan misteri-misteri yang berada di sekeliling buku-buku itu, hanya dengan petunjuk yang sedikit dan cerita-cerita orang yang dia dengar. Rahasia dibalik Koleksi Lengkap Souseki yang diwariskan Nenekku itu bisa dia ungkap begitu saja.

  Shinokawa adalah orang yang memintaku untuk bekerja di toko. Waktu itu aku masih pengangguran, dengan kelebihan fisik sebagai satu-satunya keunggulanku. Meski aku tidak bisa membaca buku, aku masih memiliki minat kepada buku. Aku tidak punya alasan untuk menolak tawaran dari seorang wanita cantik yang suka membicarakan tentang buku.

  Dan begitulah, akhirnya aku menjadi karyawan di Toko Buku Antik Biblia, dan bisa melihat kemampuan Shinokawa yang luar biasa dalam memecahkan berbagai misteri dibalik buku-buku tua tersebut. Tapi, insiden yang diakibatkan oleh buku bajakan dari karya Osamu Dazai, Belakangan Ini, aku memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaan ini.

  Shinokawa akhirnya bisa lolos dari maniak buku tua, baik hidupnya dan buku tersebut bisa terselamatkan. Tapi, metode yang dia gunakan itu mengorbankan kepercayaan diantara kami berdua. Itu adalah sesuatu yang tidak bisa kuterima begitu saja.

  Setelah dia keluar dari rumah sakit, dia mendatangi diriku dimana aku sendiri waktu itu sedang mencari lowongan pekerjaan. Dia memberiku edisi perdana dari Belakangan Ini yang di anggap sebagai sesuatu yang paling berharga darinya, untuk memperbaiki hubungan kita.

  Aku tidak menerima buku itu, malah aku hanya memintanya untuk menceritakan dengan detail cerita dari buku Belakangan Ini tersebut. Begitulah, akhirnya kami berdamai. Setelah dia selesai menceritakan itu, ditemani oleh cahaya matahari senja,  dia tiba-tiba memasang wajah yang serius dan membetulkan posisi duduknya.



  “Aku...Um...Kalau...Kau...”

  Dia mengatakan sesuatu yang aneh.

  Aku mempersiapkan diriku dengan apa yang akan dia katakan selanjutnya.

  “...Kembali lagi...Ke toko...”

  Sepertinya, dia memintaku untuk bekerja kembali di toko. Wajahnya memerah dan ekspresi manisnya ini memang benar-benar membuatku terpesona.

  “...Ka-Karena...”

  Mendengarkannya berbicara memang membuat hatiku tergerak. Membuatku untuk mempertimbangkan kembali tawarannya, tapi ada hal lain yang membuat situasiku saat ini menjadi sulit.

  Aku merasa kalau interview yang kulakukan tempo hari akan memberiku kabar yang baik, sehingga aku sangat kesulitan untuk menerima tawarannya. Juga, mungkin dia juga merasa kesulitan untuk memintaku meninggalkan semua ‘pencarian lowongan pekerjaan’ ini ketika aku berbincang dengannya saat ini, masih memakai setelan jas untuk interview.

  Pada akhirnya, aku putuskan untuk memberikan jawabannya di lain kesempatan.

  “Bolehkah jika aku memberikan jawabanku dalam beberapa hari lagi?”

  “Ah, ba-baiklah.”

 
Percakapan kami berakhir disana. Setelah melihatnya pulanng ke Kita-Kamakura menggunakan taksi, tawarannya barusan mulai menghantui pikiranku. Apakah aku akan terus melanjutkan pencarianku akan pekerjaan yang layak untukku? Ataukah aku terima saja tawarannya untuk bekerja paruh waktu dimana bossku adalah pemilik toko buku antik yang cantik dan eksentrik?

  Ternyata, jawabannya tersaji dengan mudahnya. Beberapa hari kemudian, ada pemberitahuan dari Perusahaan Makanan yang kudatangi untuk interview itu, dan memberitahuku kalau aku tidak diterima oleh mereka. Mereka menyebut kalau harga-harga sekarang sedang membumbung tinggi, kondisi keuangan yang sedang ketat, dan juga banyaknya pelamar untuk posisi yang bisa dihitung jari, adalah alasan mengapa mereka tidak bisa menerimaku. Ada juga tambahan kalau mereka berharap masa depanku kelak akan lebik baik dari sekarang ini.

  Akupun mencoba mencari-cari informasi mengenai perusahaan itu di intenet dan menemukan fakta kalau banyak sekali pelamar pekerjaan ke perusahaan mereka yang merasa yakin setelah interview dengan mereka, akan merasa kalau mereka akan menerimanya. Aku ternyata salah satu dari orang-orang ini.

  Shinokawa lalu menelponku ketika aku masih dihinggapi depresi karena tidak mendapatkan pekerjaan itu. Dia tidak punya satupun alasan untuk menelponku, tapi dia benar-benar berusaha menepati janjinya untuk tetap menghubungiku. Kuberitahu kepadanya tentang apa yang terjadi dengan interview yang tempo hari, setelah itu aku bertanya kepadanya apakah tawaran pekerjaan untuk bekerja di tokonya tempo hari masih terbuka atau tidak.

  “Te-Tentu saja masih! Aku berharap bisa bekerja bersama denganmu lagi.”

  Dia terlihat terkejut dan terasa antusias ketika mengatakannya.

 

  Dan akhirnya, aku kembali lagi ke tempat dimana diriku seharusnya berada.










x x x









  “..Berikutnya, bisakah kau taruh buku-buku ini di sana? Di deretan nomor dua rak buku itu.”

  Suaranya terdengar olehku.

  “Ah, oke.”

  Kuambil tumpukan buku yang berada di kasir itu dan membawanya ke rak yang dia tunjuk, rak yang berada dekat pintu masuk. Rak buku ini adalah rak buku untuk buku tentang sejarah Jepang, dan banyak sekali tempat kosong di rak ini. Kutaruh buku-buku yang bersampul gelap ini di raknya.

  Shinokawa setiap harinya membuatku sibuk dengan mengatur ulang posisi buku di toko setelah aku bekerja kembali di toko. Biasanya, toko buku akan mengisi kekosongan di rak dengan buku-buku yang belum pernah dipajang sama sekali. Meski toko kami ini memiliki banyak sekali pelanggan tetap, tidak akan ada yang mau datang ke toko jika susunan buku di raknya hanya itu-itu saja.

  Mungkin semua buku yang ada di rak ini adalah buku-buku tua, tapi bukan berarti kita bisa terus-terusan menaruh buku yang sama di etalase toko. Kalau dipikir-pikir lagi, ini cukup masuk akal.

  Para pelanggan yang datang ke toko dan membawa bukunya mulai ramai setelah Shinokawa kembali dari rumah sakit. Untuk sementara ini, kami hanya bisa membeli buku jika si pelanggan membawa bukunya ke toko, tapi kami memiliki rencana untuk mengaktifkan lagi program “mendatangi pelanggan” untuk membeli buku mereka langsung di rumah si pemilik buku tersebut.

  Shinokawa sendiri, sedang berada di depan komputernya untuk mengatur pemesanan lewat website sambil memberikan instruksi kepadaku. Belakangan ini, dia mengupdate katalog buku dengan koleksi-koleksi baru toko kami.

  Suasana toko ini sangat berbeda ketika aku bekerja sendirian. Ini karena kemunculan si pemilik toko.

  Tapi, masih ada saja masalah yang tidak hilang-hilang dengan kehadirannya disini.

  “Shinokawa, aku harus menaruh buku ini dimana?”

  Kubalikkan badanku ke arahnya dan memegang buku karya Nawa Yumio yang berjudul Ensiklopedia Jutte, Teknik Untuk Menangkap. Dia sendiri tersembunyi dibalik tumpukan buku yang ada di kasir, jadi yang terlihat darinya hanyalah sedikit bagian dari tubuhnya saja.

  “Tolong taruh di tingkat ketiga rak yang sebelah sana, di samping buku Sistem Sosial di Edo.

  Shinokawa menjawabku dan kembali lagi fokus dengan pekerjaannya. Dia bahkan tidak menoleh sedikitpun dari buku yang dibacanya.

  Biasanya, kebiasannya itu tidak menghambatnya untuk melakukan pelayanan kepada pelanggan, meskipun dia kadang agak ketus ketika menanyakan nomor KTP pelanggan dan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang harusnya dilakukan karyawan toko buku. Tapi kalau berbicara soal buku, dia tiba-tiba berubah menjadi seorang penceramah.

  Perubahan sikapnya itulah yang biasanya membuat para pelanggan kaget, dan mereka sering mencari-cari alasan untuk secepatnya pergi dari toko.

  Setiap kali ini terjadi, dia langsung kembali membaca bukunya, dan memasang ekspresi kelelahan. Meski dia tidak mau mengakui itu, skillnya dalam menghadapi pelanggan ternyata tidak bagus-bagus amat. Sebenarnya, akar masalahnya bukan di skillnya, tapi di sifatnya – dia memang tidak benar-benar cocok untuk hal itu.

  Aku biasanya melakukan pekerjaan yang tidak membutuhkan banyak sekali pengetahuan, misalnya mencatat pembayaran dari pelanggan. Untuk sementara, bagi seorang amatir, inilah yang bisa kulakukan.

  “Sudah hampir masuk jam tutup toko, benar tidak?”

  Shinokawa mengatakan itu dari balik tumpukan buku di kasir. Dia menatap ke arah jendela dan melihat sinar matahari senja yang memantul di aspal jalanan. Tanpa sadar, ternyata hari sudah menjelang petang.

  “Kebetulan, aku juga selesai dengan yang disini. Mau kuhitungkan data-data yang masuk hari ini?”

  “Ya, kalau boleh.”

  Ketika aku berjalan menuju kasir, sesuatu menarik perhatian kedua mataku. Itu adalah bagian rak untuk novel jaman dulu dan novel detektif, dan Jembatan Ivy di Kiso berada tepat di sebelah Koleksi Karya Edogawa Ranpo.

  Seperti seolah-olah diluar kuasaku, aku mengambil buku itu dari raknya dan membuka halaman pertama. Tiba-tiba bulu kudukku berdiri, tapi itu karena kondisi spesialku, bukan karena isi buku tersebut. Dengan cepat, mataku mulai membaca beberapa kalimat. Sepertinya, suasana novel ini terjadi ketika jaman peperangan dulu.

  Ada dua pria sedang menggosipkan tentang seorang PSK yang paling cantik.

  “Mustahil, bagaimana jika ada roh jahat yang merasuki wanita itu…?”

  “Roh jahat? Apa maksudmu dengan kerasukan?”

  “Kau tidak tahu?”

  “Ini hanya gossip yang kudengar saja, katanya si Niodori itu dikelilingi oleh semacam kutukan.”

  “Huh, ini pertamakalinya aku mendengar soal itu.”

  “Katanya, dia itu pergi dari dunia ini ke dunia arwah setiap malam tiba. Dengan kata lain, dia seperti mati. Dan tidak lama kemudian, dia hidup lagi!”

 
  Sepertinya, Niodori adalah nama si PSK itu. Apa maksud mereka ketika mereka mengatakan kalau wanita ini hidup lagi setelah mati? Meski aku sendiri penasaran dan ingin membacanya sedikit, tapi aku masih punya pekerjaan disini, jadi aku menaruh buku itu kembali.

  Kata Shinokawa, dia membaca buku itu semasa muda dulu. Tapi, kupikir buku ini dibaca oleh kalangan orang dewasa. Juga, banyak sekali huruf-huruf kanji yang kompleks. Kira-kira, apa dia tahu buku ini menceritakan apa?

  “Pasti kau akan berpikir kalau wanita ini ternyata sudah membaca buku-buku sulit sejak muda, huh?

  Shinokawa tiba-tiba menegakkan kepalanya dari buku yang dia baca. Kutunjukkan kepadanya sampul dari Jambatan Ivy di Kiso. Dia lalu tersenyum malu-malu dan kembali menatap buku yang dia baca.

  “…Aku waktu itu bisa belajar kanji dengan cepat.”

  Aku hanya bisa mendengar suaranya saja.

  “Aku suka membaca manga dan buku anak-anak, aku juga tertarik dengan buku bacaan orang dewasa. Dan…Aku biasanya memakai uang saku bulananku untuk ke Toko Buku Shimano dengan sepedaku, dan menatap keseluruhan rak buku disana; satu persatu. Kubeli Jembatan Ivy di Kiso itu sekitar waktu itu karena mereka menerbitkan ulang buku itu dengan edisi yang bersampul tipis.”

  “Shimano katamu; Apakah itu artinya kau dulu sampai pergi sejauh itu ke Ofune?”

  Ada Toko Buku Shimano di area perbelanjaan yang terletak di Stasiun Ofune, dimana aku dibesarkan waktu kecil dulu. Mungkin, kita dulu pernah bertemu secara sekilas ketika kita masih kecil.

  “Tidak juga. Aku pergi ke kedua toko itu, toko yang cabang Ofune dan cabang Kita-Kamakura, karena kedua toko itu menjual buku-buku dari penerbitan yang berbeda.”

  “Huh?”

  Kita-Kamakura, tempat dimana aku berada saat ini, berada diantara Stasiun Ofune dan Kamakura. Meski kau ini orang dewasa, pulang-pergi antara dua stasiun itu adalah hal yang sulit. Belum lagi jalannya yang menanjak. Aku mencoba membayangkan adegan Shinokawa yang masih SD naik sepeda menuju salah satu toko buku tersebut, tapi aku sangat sulit untuk membayangkannya.

  Kalau dipikir-pikir lagi, aku tidak tahu banyak tentangnya.

  Dia lahir dan dibesarkan di daerah sekitar sini, mewarisi Toko Buku Antik yang ditinggalkan oleh Ayahnya setahun lalu, dan dia sangat menyukai buku – dan selanjutnya, aku tidak tahu apapun tentangnya.

  “Shinokawa, apa saja yang kau…” kataku, tapi kata-kataku tadi dipotong.

  Pintu kaca toko ini terbuka, dan seorang gadis berambut pendek yang tinggi masuk ke toko. Dia memasang ekspresi yang kaku. Blus lengan pendek dan rok abu-abu yang dia pakai itu, melambangkan sebuah SMA yang berada di tengah perjalanan menuju gunung di dekat sini. Itu adalah SMA dimana aku bersekolah dulu.

  “Yo.”

  “Halo.”

  Nao Kosuga sedikit menundukkan kepalanya dan melihat-lihat ke sekeliling toko. Sikap dan ekspresi wajahnya ini memang mengesankan kalau dia ini adalah gadis tomboy.

  “Apa yang punya toko ini ada disini?”

  “Eh? Err…”

  “Bukan begitu, tidak apa-apa kalau orangnya tidak ada…Salahku juga karena tidak menelpon dan bertanya dahulu.”

  Sepertinya, dia langsung menyimpulkannya begitu hanya dengan melihat situasi toko ini, sedang Shinokawa sendiri ‘tersembunyi’ dibalik tumpukan buku di kasir.

  Aku terus menatap ke arah tumpukan buku dimana ada Shinokawa di belakangnya dengan penuh tanda Tanya.

  Aku baru menyadarinya, tapi gadis ini benar-benar jarang tinggal lama-lama di toko ketika Shinokawa ada disini. Dia ini sebenarnya seorang pencuri dalam kasus yang melibatkan kami di masa lalu, tapi pada akhirnya, dia meminta maaf ke sang korban dan sang korban sendiri memaafkannya, dimana itu sama saja dengan mengatakan kalau kasusnya sudah selesai. Orang yang menyelesaikan kasus itu adalah Shinokawa.

  Siswi SMA ini tidak bisa melupakan keterkejutannya ketika Shinokawa mengungkap kalau dialah pelakunya. Setelah itu, dia seperti merasa aneh jika bertemu Shinokawa lagi, mungkin karena dia merasa kalau Shinokawa bisa membaca pikirannya. Shinokawa sendiri juga tahu, kalau siswi SMA ini berusaha untuk menghindarinya.

  Mungkin sebenarnya, dia sengaja menyembunyikan dirinya dibalik tumpukan buku-buku itu karena tidak ingin membuat situasinya bertambah aneh.

  “Sebenarnya begini, aku kesini mau mendiskusikan sesuatu denganmu, Goura.”

  Dia lalu mendekatkan tubuhnya kepadaku seperti kata-katanya yang akan dia katakan selanjutnya itu tidak ingin didengar oleh orang lain.

  “Diskusi, denganku?”

  “Ya, tidak masalah kan?”

  Entah kenapa dia bertanya seperti itu kepadaku, tapi ini adalah keinginan pelanggan.

  “Apa kau pernah baca A Clockwork Orange?”

  “Tidak, belum pernah.”

  Aku pernah mendengar judulnya, tapi aku sendiri tidak tahu itu tentang apa. Kupikir, itu adalah judul dari film yang sudah tua. Ternyata, ada juga buku yang judulnya seperti itu.

  Tampaknya, jawabanku bukan jawaban yang dia ingin dengar.

  “Kupikir kau sudah membacanya. Bukannya kau ini kerja di Toko Buku Antik?”

  Kalau dia mengatakan itu, sepertinya dia tidak tahu mengenai situasi diriku yang tidak bisa membaca buku. Dia pasti datang kesini karena berpikir kalau aku bisa dia ajak untuk berdiskusi soal buku. Tapi jika dia benar-benar ingin berdiskusi mengenai buku, maka orang yang paling cocok untuk itu sedang bersembunyi di ruangan ini.

  “Ya maaf saja,” kataku datar.

  “Jangan khawatir. Ngomong-ngomong, ini hanya suatu hal yang terlintas di pikiranku, tapi bisakah kalau kuminta kau untuk membacanya nanti?”

  “Sesuatu yang terlintas di pikiranmu?”

  “Coba baca ini sebentar.”

  Dia lalu mengambil lipatan kertas dari tas sekolah yang bergantung di bahunya dan menyerahkannya kepadaku. Aku membuka lipatan kertas itu dan membacanya.

  Kalimat pertama tertulis, “Aku membaca karya Anthony Burgess, ‘A Clockwork Orange’…” tertulis dalam sebuah tulisan tangan. Ini seperti sebuah kertas laporan. Kalimat selanjutnya tertulis “Kelas 2-1, Kosuga Yui” dimana itu menandakan siapa penulis laporan ini.

  “Adikku yang menulis ini. Dia masih kelas 2 SMP, tapi dia itu anak yang pintar.”

  “Jadi kau punya adik?”

  Ini pertamakalinya aku mendengar hal ini. Entah mengapa, dia selama ini memberikan kesan kalau dia adalah anak tunggal dalam keluarganya.

  “Aku ini tiga bersaudara di keluarga, kakakku itu sedikit lebih tua usianya darimu.”

  Ekspresinya tampak ceria ketika membicarakan saudaranya. Dia jelas-jelas punya hubungan yang baik dengan mereka.

  “Adikku menulis laporan ini sebagai PR liburan musim panasnya…Tapi berakhir menjadi sumber perdebatan di rumah…”

 


 


x Chapter I Part 1 | END x
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar